Minggu, 02 Januari 2011

Evaluasi Kinerja Fortofolio

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Proses keputusan investasi merupakan suatu proses keputusan yang berkesinambungan (going process), yang meliputi lima tahap keputusan yang berjalan terus menerus sampai tercapai keputusan investasi yang terbaik, yang terdiri dari lima tahap keputusan, yaitu: penentuan tujuan investasi, penentuan kebijakan investasi, pemilihan strategi portofolio, pemilihan aset, serta pengukuran dan evaluasi kinerja portofolio. Dengan demikian, tahap kelima dalam proses keputusan investasi tersebut merupakan tahap yang penting untuk mengetahui apakah kinerja portofolio yang telah dibentuk sudah mampu memenuhi tujuan investasi yang ingin dicapai investor. Jika tahap pengukuran dan evaluasi kinerja telah dilewati dan ternyata hasilnya kurang baik, maka proses keputusan investasi harus dimulai lagi dari tahap pertama, demikian seterusnya sampai dcapai keputusan investasi yang paling optimal. Tahap pengukuran dan evaluasi kinerja ini meliputi pengukuran kinerja portofolio dan pembandingan hasil pengukuran tersebut dengan kinerja portofolio lainnya melalui proses benchmarking.
Pada makalah ini akan dibahas tentang tahapan penting dalam proses investasi, yaitu tahap evaluasi kinerja portofolio. Dalam tahap ini pertanyaan mendasar yang ingin dijawab adalah “sejauhmanakah portofolio yang telah dibentuk mampu memberikan kinerja yang memuaskan investor?. Dengan kata lain, apakah return portofolio yang telah dibentuk (setelah dikurangi biaya-biaya), sudah mampu mengkompensasi tingkat risiko yang harus ditanggung investor?’’.Disamping itu, evaluasi kinerja portofolio akan memungkinkan kita mengidentiifikasi apakah portofolio yang telah terbentuk mampu memberikan tingkat return yang relatif lebih tinggi dibanding return portofolio lainnya dan apakah return tersebut juga sesuai dengan tingkat risiko yang ditanggung. Dengan demikian, dalam melakukan evaluasi kinerja portofolio kita tidak hanya perlu memperhatikan tingkat returnnya saja, tetapi juga ada beberapa faktor lain, seperti tingkat risiko portofolio dan tujuan investasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi pokok-pokok masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kerangka pikir untuk investasi evaluasi kinerja portofolio?
2. Bagaimana mengukur tingkat retur portofolio?
3. Bagaimana Risk Adjusted Performance?



BAB II
PEMBAHASAN
EVALUASI KINERJA PORTOFOLIO

19.1. KERANGKA PIKIR UNTUK EVALUASI KINERJA PORTOFOLIO
Seperti layaknya evaluasi terhadap kinerja suatu perusahaan, portofolio yang telah dibentuk juga perlu dievaluasi kinerjanya. Evaluasi kinerja portofolio akan terkait dengan dua isu utama, yaitu: (l) mengevaluasi apakah return portofolio yang telah dibentuk mampu memberikan return yang melebihi (di alas) return portofolio lainnya yang dijadikan patok duga (benchmark), dan (2) mengevaluasi apakah return yang diperoleh sudah sesuai dengan tingkat risiko yang Harus ditanggung.
Dalam mengevaluasi kinerja suatu portofolio ada beberapa faktor yang perlu kita perhatikan, yaitu:
1. Tingkat risiko
Seperti telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya tentang adanya Trade-off antara risiko dan return, di mana semakin tinggi tingkat risiko maka semakin tinggi pula tingkat return yang diharapkan.
2. Periode waktu
Seperti halnya tingkat risiko, faktor waktu juga akan mempengaruhi tingkat return portofolio. Oleh karena itu, pada saat mengevaluasi kinerja suatu portofolio kita juga perlu memperhatikan faktor periode waktu yang digunakan.
3. Penggunaan patok duga (bechmark) yang sesuai
Dalam melakukan evaluasi kinerja suatu portofolio, kita perlu membandingkan return portofolio tersebut dengan return yang bisa dihasilkan oleh alternatif portofolio lain yang sebanding.
4. Tujuan investasi
Evaluasi kinerja suatu portofolio juga perlu memperhatikan tujuan yang ditetapkan oleh investor atau manajer investasi. Tujuan investasi yang berbeda akan mempengaruhi kinerja portofolio yang dikelolanya, Misalnya, jika tujuan investasi seorang investor adalah pertumbuhan jangka panjang, maka kinerja portofolio yang dibentuknya akan relatif lebih kecil dari kinerja portofolio yang dibentuk dengan tujuan mendapatkan keuntungan jangka pendek.
19.2. MENGUKUR TINGKAT RETURN PORTOFOLIO
Penilaian kinerja suatu portofolio umumnya dimulai dengan mengukur tingkat return dari portofolio tersebut Salah satu cara untuk menghitung tingkat return suatu portofolio adalah dengan cara menjumlahkan semua aliran kas yang diterima (penjumlahan dividen atau pendapatan bunga selama periode investasi dengan selisih perubahan nilai pasar portofolio (capital gain /loss)), dan kemudian dibagi dengan nilai pasar portofolio pada awal periode.
Metode penghitungan tingkat return portofolio tersebut memang terlihat cukup sederhana dan mudah untuk menghitungnya. Akan tetapi, metode yang sederhana tersebut sebenarnya tetap mengandung kelemahan, karena hanya sesuai untuk menghitung tingkat return portofolio yang bersifat "statis", yaitu portofolio yang tidak mempunyai aliran kas keluar maupun masuk dari investor.
Besarnya tingkat return yang ditawarkan oleh portofolio yang dimiliki investor bisa diukur dengan metode time-weighted rate of return (TWR). Besarnya TWR ini tidak dipengaruhi oleh penambahan atau penarikan dana yang dilakukan oleh in¬vestor selama periode perhitungan return portofolio.
Bagaimana cara menghitung TWR dan DWR? TWR bisa dihitung dengan membagi periode perhitungan return portofolio ke dalam beberapa sub periode perhitungan. Setiap subperiode dihitung terlebih dahulu masing-masing returnnya, dan selanjutnya return dari keseluruhan periode perhitungan portofolio bisa dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini:
TWR = (1,0 + S1) (1,0 + S2)...........(1,0 + SN) -1,0 (19.1)
di mana, S dalam persamaan di atas melambangkan return yang diperoleh dalam setiap subperiode perhitungan.
Sebagai contoh, misalnya suatu portofolio yang diamati selama 5 tahun terdiri dari 3 subperiode aliran kas yang masing-masing memberikan return berturut-turut sebesar 5%; 8%; dan 10%. Dari data tersebut maka kita bisa menghitung return portofolio berdasarkan metode TWR, sebagai berikut:

TWR = (1,0 + 0,05) (1,0 + 0,08) (1,0 + 0,1) -1,0
= (1,05) (1,08) (1,1) -1,0
= 0,247 atau 24,7%.
Metode perhitungan yang lainnya, yaitu DWR bisa dihitung dengan mencari tingkat suku bunga yang bisa menyamakan nilai awal portofolio dengan semua aliran kas yang terjadi ditambah nilai akhir portofolio. Perhitungan dengan metode ini sudah memperhatikan aliran kas yang masuk dan keluar selama periode perhitungan re¬turn portofolio. Rumus untuk menghitung TWR adalah sebagai berikut
Nilai awal portofolio = (19.2)
di mana:
Dt = penambahan dana pada saat t
Wt = penarikan dana pada saat t
n = jumlah penambahan dana selama periode perhitungan
m = jumlah penarikan dana selama periode perhitungan.
r = tingkat bunga yang menyamakan nilai awal portofolio dengan semua aliran kas (masuk dan atau keluar) ditambah nilai akhir portofolio.
Besarnya r ini sekaligus merupakan tingkat return portofolio yang dihitung dengan metode TWR.
19.3. Risk Adjusted Performance
Seperti telah dijelaskan di alas bahwa untuk melihat kinerja sebuah portofolio kita tidak bisa hanya melihat tingkat return yang dihasilkan portofolio tersebut, tetapi kita juga hams memperhatikan faktor-faktor lain seperti tingkat risiko portofolio tersebut. Dengan berdasarkan pada teori pasar modal, beberapa ukuran kinerja portofolio sudah memasukkan faktor return dan risiko dalam perhitungannya. Beberapa ukuran kinerja portofolio yang sudah memasukkan faktor risiko adalah indeks Sharpe, indeks Treynor, dan indeks Jensen.

19.3.1. Indeks Sharpe
Indeks Sharpe dikembangkan oleh William Sharpe dan sering juga disebut dengan reward-to-variability ratio. Indeks Sharpe mendasarkan perhitungannya pada konsep garis pasar modal (capital market line) sebagai patok duga, yaitu dengan cara membagi premi risiko portofolio dengan standar deviasinya. Dengan demikian, indeks sharpe akan bisa dipakai untuk mengukur premi risiko untuk setiap unit risiko pada portofolio tersebut. Untuk menghitung indeks Sharpe, kita bisa menggunakan persamaan 19.3 berikut ini:
Ŝp =


di mana:
Ŝp = indeks Sharpe portofolio
 = rata-rata return portofolio p selama periode pengamatan
= rata-rata tingkat return bebas risiko selama periode pengamatan
= standar deviasi return portofolio p selama periode pengamatan

19.3.2. Indeks Treynor
Indeks Treynor merupakan ukuran kinerja portofolio yang dikembangkan oleh Jack Treynor, dan indeks ini sering disebut juga dengan reward to volatility ratio. Sama halnya seperti indeks Sharpe, pada indeks Treynor, kinerja portofolio dilihat dengan cara menghubungkan tingkat return portofolio dengan besarnya risiko dari portofolio tersebut. Perbedaannya dengan indeks Sharpe adalah penggunaan garis pasar sekuritas (security market line) sebagai patok duga, dan bukan garis pasar modal seperti pada indeks Sharpe. Asumsi yang digunakan oleh Treynor adalah .bahwa portcfolio sudah terdiversifikasi dengan baik sehingga risiko yang dianggap relevan adalah risiko sistematis (diukur dengan beta).
Cara mengukur indeks Treynor pada dasarnya sama dengan cara meng-hitung indeks Sharpe, hanya saja risiko yang diukur dengan standar deviasi pada indeks Sharpe diganti dengan beta portofolio. Dengan demikian, indeks Treynor suatu portofolio dalam periode tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 19.4 seperti berikut ini:
(19.4)
di mana:
= indeks Treynor portofolio
= rata-rata return portofolio p selama periode pengamatan
= rata -rata tingkat return bebas risiko selama periode pengamatan
= beta portofolio p

193.3. Indeks Jensen
Indeks Jensen merupakan indeks yang menunjukkan perbedaan antara tingkat. return aktual yang diperoleh portofolio dengan tingkat return yang diharapkan jika portofolio tersebut berada pada garis pasar modal. Persamaan untuk indeks Jensen ini adalah:
(19.5)
di mana:
= indeks Jensen portofolio
= rata-rata return portofolio p selama periode pengamatan
= rata -rata tingkat return bebas risiko selama periode pengamatan
= beta portofolio p
Persamaan indeks Jensen dengan indeks Treynor adalah bahwa kedua indeks ukuran kinerja portofolio tersebut menggunakan garis pasar sekuritas sebagai dasar untuk membuat persamaan. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa indeks Treynor sama dengan slope garis yang menghubungkan posisi portofolio dengan return bebas risiko, sedangkan indeks Jensen merupakan selisih antara return portofolio dengan return portofolio yang tidak dikelola dengan cara khusus (hanya mengikuti return pasar), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19. 3 berikut ini (ditunjukkan oleh tanda panah).
Tanda panah pada Gambar 19.3 di bawah menunjukkan besarnya indeks Jensen untuk portofolio D. Disamping itu, indeks Jensen juga menunjukkan besarnya perbedaan return antara portofolio dengan return portofolio yang tidak dikelola dengan cara' khusus (hanya mengikuti return pasar) dengan tingkat risiko yang sama. Ha! ini dapat terlihat dengan jelas pada persamaan 19.6 berikut ini, yang juga merupakan modifikasi dari persamaan 19.5 di atas.
(19-7)
Persamaan 19.7 memperlihatkan bahwa indeks Jensen merupakan selisih return abnormal portofolio p selama satu periode dengan premi risiko portofolio yang seharusnya diterima dengan menggunakan tingkat risiko sistematis tertentu dan model CAPM. Oleh karena itu nilai indeks Jensen bisa saja lebih tertentu dan model CAPM. Oleh karena itu nilai indeks Jensen bisa saja lebih besar (positif),l kecil (negatif atau sama (nol). Tetapi dalam penggunaan indeks Jensen untuk mengevaluasi kinerja portofolio, kita perlu melakukan pengujian apakah perbedaan kedua return tersebut signifikan. Bisa saja suatu portofolio mempunyai indeks Jensen tertentu, tetapi setelah dilakukan pengujian ternyata angka tersebut tidak signifikan.
Gambar 19.3.
Kinerja keempat portofolio menurut indeks Jensen
(A = A, B = B, C = C dan D = D)







Ketiga ukuran kinerja portofolio di atas tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengukuran. Seperti telah dijelaskan bahwa ketiga ukuran tersebut menggunakan dasar CAPM. Padahal seperti kita tahu bahwa model CAPM merupakan model keseimbangan yang menggunakan asumsi-asumsi yang sangat sulit kita temukan dalam kondisi nyata, sehingga penggunaan model CAPM bisa menyebabkan adanya bias dalam pengukuran
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:
• Evaluasi kinerja portofolio akan terkait dengan dua isu utama, yaitu: (l) mengevaluasi apakah return portofolio yang telah dibentuk mampu memberikan return yang melebihi (di alas) return portofolio lainnya yang dijadikan patok duga (benchmark), dan (2) mengevaluasi apakah return yang diperoleh sudah sesuai dengan tingkat risiko yang Harus ditanggung.
• Salah satu cara untuk menghitung tingkat return suatu portofolio adalah dengan cara menjumlahkan semua aliran kas yang diterima (penjumlahan dividen atau pendapatan bunga selama periode investasi dengan selisih perubahan nilai pasar portofolio (capital gain /loss)), dan kemudian dibagi dengan nilai pasar portofolio pada awal periode.
• . Dengan berdasarkan pada teori pasar modal, beberapa ukuran kinerja portofolio sudah memasukkan faktor return dan risiko dalam perhitungannya. Beberapa ukuran kinerja portofolio yang sudah memasukkan faktor risiko adalah indeks Sharpe, indeks Treynor, dan indeks Jensen.

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Jogiyanto.2007.Teori Portofolio Dan Analisis Investasi. Yogyakarta:Penerbit BPFE

Tandelilin Eduardus. Analisis Investasi Dan Manajemen Portofolio. Jakarta. Penerbit JPMB

www.google.com

Sabtu, 01 Januari 2011

BUDAYA ORGANISASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah penanganan terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia. Jumlah sumber daya manusia yang besar apabila dapat didayagunakan secara efektif dan efisien akan bermanfaat untuk menunjang gerak lajunya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Melimpahnya sumber daya manusia yang ada saat ini mengharuskan berfikir secara seksama yaitu bagaimana dapat memanfaatkan sumber daya manusia secara optimal. Agar di masyarakat tersedia sumber daya manusia yang handal diperlukan pendidikan yang berkualitas, penyediaan berbagai fasilitas sosial, lapangan pekerjaan yang memadai. Kelemahan dalam penyediaan berbagai fasilitas tersebut akan menyebabkan keresahan sosial yang akan berdampak kepada keamanan masyarakat. Saat ini kemampuan sumber daya manusia masih rendah baik dilihat dari kemampuan intelektualnya maupun keterampilan teknis yang dimilikinya.
Persoalan yang ada adalah bagaimana dapat menciptakan sumber daya manusia yang dapat menghasilkan kinerja yang optimal sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Produktivitas kerja merupakan tuntutan utama bagi perusahaan agar kelangsungan hidup atau operasionalnya dapat terjamin. Produktivitas suatu badan usaha dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah maupun pusat, artinya dari produktivitas regional maupun nasional, dapat menunjang perekonomian baik secara makro maupun mikro. Mengenai produktivitas kerja menjadi masalah nasional pula, karena produktivitas tenaga kerja Indonesia masih memprihatinkan. Zadjuli (2001 : 6); kualitas sumber daya manusia Indonesia dewasa ini dibandingkan dengan kualitas sumber daya manusia di beberapa negara anggota-anggota ASEAN nampaknya masih rendah kualitasnya, sehingga mengakibatkan produktivitas per jam kerjanya masih rendah (menurut World Development Report, Indonesia pada tahun 2002 produktivitas per pekerja per jam sebesar 1,84 US $ dan yang tertinggi adalah Singapura 35,91 US $, diikuti oleh Malaysia 4,71 US $ dan Thailand 4,56 US $). Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, untuk itu perusahaan harus berusaha menjamin agar faktor-faktor yang berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja dapat dipenuhi secara maksimal. Kualitas sumber daya manusia akan terpenuhi apabila kepuasan kerja sebagai unsur yang berpengaruh terhadap kinerja dapat tercipta dengan sempurna.
Membahas kepuasan kerja tidak akan terlepas dengan adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Dalam perusahaan manufacturing, produktivitas individu maupun kelompok sangat mempengaruhi kinerja perusahaan hal ini disebabkan oleh adanya proses pengolahan bahan baku menjadi produk jadi. Mengingat permasalahannya sangat komplek sekali, maka pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi harus cermat dalam mengamati sumber daya yang ada.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, sehingga pengusaha harus menjaga factor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja dapat terpenuhi secara maksimal.
Persoalan kepuasan kerja akan dapat terlaksana dan terpenuhi apabila beberapa variabel yang mempengarhui mendukung sekali. Variabel yang dimaksud adalah Culture dan Motivation. Dapat dikatakan pula bahwa secara tidak langsung ketiga variabel tersebut mempengaruhi kinerja seseorang dan pada ujung-ujungnya kinerja perusahaan dapat tercapai dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut, agar karyawan selalu konsisten dengan kepuasannya maka setidak-tidaknya perusahaan selalu memperhatikan lingkungan di mana karyawan melaksanakan tugasnya misalnya rekan kerja, pimpinan, suasana kerja dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalankan tugasnya.
Membahas masalah budaya itu sendiri merupakan hal yang esensial bagi suatu organisasi atau perusahaan, karena akan selalu berhubungan dengan kehidupan yang
ada dalam perusahaan. Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama
serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu. Secara spesifik budaya dalam organisasi akan ditentukan oleh kondisi team work, leaders dan characteristic of organization serta administration process yang berlaku. Mengapa budaya organisasi penting, karena merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki organisasi
yang mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi.
Budaya yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi menjadi kuat dan tujuan perusahaan dapat terakomodasi. Robbins (2001:528); Organizational culture as an intervening variable. Employees form an overall subjective perception of the organization based on such factor as degree of risk tolerance, team emphasis and support of people. This overall perception becomes, in effect, the organization culture or
personality. These favorable or unfavorable perception then affect employee performance and satisfaction, with the impact being greater for stronger culture.
Faktor lain yang berperan dalam menjadikan karyawan lebih berperilaku terarah apabila ada unsur-unsur positif dalam dirinya masing-masing. Luthans (1992:165); Porter and Lawler start with the premise that motivation (effort or force) does not equal satisfaction and/or performance. Motivation, satisfaction and performance are all separate variables and relate in ways different from what was traditionally assumed. Hughes et al. (1999:388); Motivation, satisfaction and performance seem clearly related. Pada umumnya dalam diri seorang pekerja ada dua hal yang penting dan dapat memberikan motivation atau dorongan yaitu masalah Compensation dan Expectancy. Khususnya masalah compensation sebagai imbal jasa dari pengusaha kepada karyawan yang telah memberikan kontribusinya selalu menjadikan sebagai ukuran puas atau tidaknya seseorang dalam menjalankan tugasnya atau pekerjaannya. Demikian pula pemberian compensation dapat berdampak negative apabila dalam pelaksanaannya tidak adil dan tidak layak yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan. Besar kecilnya compensation yang diberikan kepada karyawan seharusnya tergantung kepada besar kecilnya power of contribution and thinking yang disampaikan oleh pekerja kepada perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut mengingat pemberian compensation harus adil tentunya harus ada ukuran yang jelas dan transparan misalnya berdasarkan outputnya (prestasi yang dicapai).
Dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai essential-nya dalam pemberian compensation adalah fair and suitable. Biasanya compensation dirupakan dalam bentuk financial dan non financial yang mana kedua-duanya akan diberikan dalam berbagai kesempatan yang berbeda.
Mengenai Expectancy, setiap orang akan memiliki harapan-harapan yang akan diperoleh dalam melakukan kegiatannya, oleh karena itu tanpa adanya nilai harapan
yang dimiliki, seseorang tidak akan melakukan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam expectancy theory dinyatakan bahwa orang termotivasi bereaksi dalam kehidupannya, berkeinginan menghasilkan kombinasi dari hasil-hasil yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka nampak jelas bahwa expectancy dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini wajar karena manusia selalu mempunyai need yang berbeda-beda menurut status sosialnya di masyarakat, sehingga unsur pembentuk expectancy-nya berbeda-beda pula.
Behavior merupakan bagian dari budaya yang berkaitan dengan kinerja, hal ini tentunya logis sekali sebab dengan berperilaku seseorang akan dapat memperoleh apa yang dikehendaki dan apa yang diharapkan. Jadi behavior merupakan tindakan yang nyata dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh apa yang diharapkan. Dalam organisasi tentunya banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan jalannya organisasi atau perusahaan tentunya diwarnai oleh perilaku individu yang merasa berkepentingan dalam kelompoknya masing-masing. Perilaku individu yang berada dalam organisasi atau perusahaan tentunya sangat mempengaruhi organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini akibat adanya kemampuan individu yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas atau aktivitasnya. Perilaku akan timbul atau muncul akibat adanya pengaruh atau rangsangan dari lingkungan yang ada (baik internal maupun eksternal) begitu pula individu berperilaku karena adanya dorongan oleh serangkaian kebutuhan. Setiap manusia atau seseorang selalu mempertimbangkan perilakunya terhadap segala apa yang diinginkan agar dapat tercapai tanpa menimbulkan konflik baik secara individu maupun kelompok, sehingga kinerja dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan.
Mc Kenna and Beech (1995:121); In research undertaken by Income Data Service, London (IDS,1989) it was concluded that the performance factors most usually appraised were as follows:(1) knowledge, ability and skill on the job, (2) attitude to work, expressed as enthusiasm, commitment and motivation,(3) quality of work on a consistent basis with attention to detail,(4) volume of performance output, (5) interaction, amplified in communication, skill and ability to related to others in terms.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan maka permasalahan Job performance berkaitan dengan efektivitas kerja, untuk itulah penting kiranya membuat suatu model yang membicarakan job performance (kinerja) dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu melakukan analisis pengaruh faktor perilaku organisasi terhadap kepuasan kerja dan kinerja, pengertian faktor perilaku organisasi disini adalah budaya organisasi dan motivasi.

Pada pembahasan ini mencoba mengangkat permasalahan yang terjadi pada perusahaan-perusahaan pengolahan kayu untuk kebutuhan ekspor berekala menengah yang berada di Jawa Timur melalui job performance tenaga kerjanya dan diukur melalui berbagai indikator yang ada.



Tentang kemampuan Jawa Timur yang menghasilkan produk pengolahan kayu ekspor dapat diuraikan dalam table 1.

No Uraian Tahun 1998 Tahun 1999 Tahun 2000 Tahun 2001
1` Keluaran Rp 772.016.224.400 Rp 1.042.221.903.000 Rp 1.042.221.903.000 Rp. 1.684.194.457.000 Rp. 2.210.324.637.000
2 Tenaga kerja 25.758 orang 22.050 orang 26.710 orang 27.079 orang
3 Bahan-bahan Rp 429.938.100.600 Rp 583.644.265.700 Rp 953.722.591.500 Rp 1.397.426.172.000
4 Jml. perusahaan 149 170 179 176
Sumber: BPS Jawa Timur, disusun dan diolah kembali.

Peluang pasar menurut survei pada tahun 2002 yang dilakukan oleh KADINDA Daerah Tingkat I Jawa Timur, beberapa negara yang berpotensi untuk impor kayu olahan dari Jawa Timur seperti Table 2.

Tabel 2. Peluang Pasar Kayu Ekspor di Jawa Timur Tahun 2002
Jerman
Rp 1.204.208.340.000,-
Australia
Rp 1.221.564.000.000,-
Singapura
Rp 56.223.730.000,-
Jepang
Rp 1.540.901.350.000,-
Yunani
Rp 68.275.300.000,-
Sumber: KADINDA Tk. I Jawa Timur

Mengingat begitu pentingnya kegiatan ekspor dalam usaha untuk meningkatkan devisa negara, tidak salah apabila harus memperhatikan perilaku dari sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan. Hal tersebut berkaitan dengan usaha-usaha menciptakan produktivitas kerja dan disertai mutu produk yang handal. Peningkatan produktivitas merupakan keharusan karena komitmen manajemen terhadap kualitas layanan memegang peran yang sangat penting agar perolehan perusahaan dapat tercapai dan terjamin kesinambungan usahanya. Di Jawa Timur banyak perusahaan pengolahan kayu berskala menengah melakukan ekspor hasil produksinya. Berkaitan dengan hal tersebut perlu memperoleh kajian khusus tentang sumber daya manusianya agar perolehan devisa dari sektor pengolahan kayu dapat ditingkatkan.
Iklim usaha menengah dalam sektor pengolahan kayu sebenarnya sangat menjanjikan apabila semua pihak yang terkait ikut berperan karena putra-putra Indonesia cukup handal dalam bidang industri pengolahan kayu selain itu bahan bakunya cukup terpenuhi karena alamnya mendukung.









B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap Kepuasan kerja ?
2. Apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap Motivasi
3. Apakah Motivasi berpengaruh terhadap Kepuasan kerja ?
4. Apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja ?
5. Apakah Motivasi berpengaruh terhadap Kinerja ?
6. Apakah Kepuasan kerja berpengaruh terhadap Kinerja?













BAB II
LANDASAN TEORI


A. Budaya Organisasi

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak akan terlepas dari lingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula oleh lingkungannya dan agar kepribadian tersebut mengarah kepada sikap dan perilaku yang positif tentunya harus didukung oleh suatu norma yang diakui tentang kebenanrannya dan dipatuhi sebagai pedoman dalam bertindak. Pada dasarnya manusia atau seseorang yang berada dalam kehidupan organisasi berusaha untuk menentukan dan membentuk sesuatu yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, agar dalam menjalankan aktivitasnya tidak berbenturan dengan berbagai sikap dan perilaku dari masingmasing individu. Sesuatu yang dimaksud tidak lain adalah budaya dimana individu berada, seperti nilai, keyakinan, anggapan, harapan dan sebagainya.
Glaser et al. (1987); Budaya organisasi seringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual dan mitosmitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau perusahaan, tentunya mempunyai budaya yang berbeda-beda hal ini wajar karena lingkungan organisasinya berbeda-beda pula misalnya perusahaan jasa, manufaktur dan trading. Hofstede (1986:21); Budaya merupakan berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang dalam lingkungannya. Menurut Beach (1993:12); Kebudayaan merupakan inti dari apa yang penting dalam organisasi. Seperti aktivitas memberi perintah dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang dilakukan dan tidak dilakukan yang mengatur perilaku anggota. Jadi budaya mengandung apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pedoman yang dipakai untuk menjalankan aktivitas organisasi. Pada dasarnya Budaya organisasi dalam perusahaan merupakan alat untuk mempersatukan setiap invidu yang melakukan aktivitas secara bersama-sama.
Kreitner dan Kinicki (1995:532); mengemukakan bahwa budaya orgainsasi adalah perekat social yang mengingat anggota dari organisasi. Nampaknya agar suatu karakteristik atau kepribadian yang berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat disatukan dalam suatu kekuatan organisasi maka perlu adanya prekat sosial.
Pendapat Bliss (1999) mengatakan bahwa didalam budaya terdapat kesepakatan yang mengacu pada suatu sistem makna secara bersama, dianut oleh anggota organisasi dalam membedakan organisasi yang satu dengan yang lainnya. Lain halnya dengan Robbins (1996:289); budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, dan merupakan suatu sistem makna bersama.
Mengingat budaya organisasi merupakan suatu kespakatan bersama para anggota dalam suatu organisasi atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang lebih luas untuk kepentingan perorangan. Keutamaan budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi. Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dengan budaya organisasi dan pada umumnya mereka akan dipengaruhi oleh keaneka ragaman sumber-sumber daya yang ada sebagai stimulus seseorang bertindak Kartono (1994 :138); mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang muncul pada kelompok-kelompok kerja di perusahaan-perusahaan berasal dari macam-macam sumber, antara lain : dari stratifikasi kelas sosial asal buruh –buruh/pegawai, dari sumber-sumber teknis dan jenis pekerjaan, iklim psikologis perusahaan sendiri yang diciptakan oleh majikan, para direktur dan manajer-manajer yang melatarbelakangi iklim kultur buruh-buruh dalam kelom pok kecil-kecil yang informal. Hidayat (2002); we were all born of human beings and then grew up by social upbringing with culture environment. Since cultures always process plural nation language, tradition and relegion are indispensably diverse.
Molenaar (2002), Kotter dan Heskett (1992); Budaya mempunyai kekuatan yang penuh, berpengaruh pada individu dan kinerjanya bahkan terhadap lingkungan kerja. Buchanan dan Huczyski (1997:518); elemen-elemen budaya organisasi atau perusahaan adalah nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, pendapat-pendapat, sikapsikap dan norma-norma.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang tentunya berbeda-beda dalam bentuk perilakunya. Dalam organisasi implementasi budaya dirupakan dalam bentuk perilaku artinya perilaku individu dalam organisasi akan diwarnai oleh budaya organisasi yang bersangkutan. Arnold dan Feldman (1986:24); perilaku individu berkenaan dengan tindakan yang nyata dilakukan oleh seseorang dapat diartikan bahwa dalam melakukan tindakan seseorang pasti akan tidak terlepas dari perilakunya.

B. Motivasi

Berbagai usaha yang dilakukan oleh manusia tentunya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya, namun agar keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi tidaklah mudah didapatkan apabila tanpa usaha yang maksimal. Mengingat kebutuhan orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda tentunya cara untuk memperolehnya akan berbeda pula. Dalam memenuhi kebutuhannya seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Teori motivasi merupakan konsep yang bersifat memberikan penjelasan tentang kebutuhan dan keinginan seseorang serta menunjukkan arah tindakannya. Motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren.
Herpen et al. (2002); hasil penelitiannya mengatakan bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan ekstrinsik Sedangkan Gacther and falk (2000), Kinman and Russel (2001); Motivasi intrinsik dan ekstrinsik sesuatu yang sama-sama mempengaruhi tugas seseorang. Kombinasi insentive intrinsik dan ekstrinsik merupakan kesepakatan yang ditetapkan dan berhubungan dengan psikologi seseorang.
Berbagai teori motivasi yang ada salah satunya adalah Porter Lawler Model. Persoalan antara kepuasan kerja dan kinerja muncul sejak adanya gerakan hubungan antar manusia. Sebenarnya dalam teori muatan tersirat adanya bahwa kepuasan mengarah kepada kinerja dan tidak kepuasan menurunkan kinerja. Porter Lawler menyatakan bahwa proses kognitif dalam persepssi memainkan suatu peran sentral bahwa hubungan antara kepuasan dan kinerja berhubngan secara langsung dengan suatu model motivasi.
Menurut Mondy and Noe (1996:358); Direct financial compensation consist of the pay that a person receives in the form of wages salaries, bonuses and commissions. Indirect financial compensation (benefits) includes all financial rewards that are not included direct compensation. Kompensasi non keuangan terdiri dari kepuasan yang diterima oleh seseorang dari tugas atau dari psikologi dan atau lingkungan phisik dimana seseorang bekerja.
Pada saat-saat tertentu seseorang dalam menerima kompensasi akan mengukur penerimaannya dengan bentuk nonfinancial atau financial hal ini tergantung pada tingkat kebutuhan yang dimilikinya. Werther and Davis (1996:381); Manajemen kompensasi berusaha keras membuat keadilan luar dan dalam. Internal menghendaki keadilan nilai pembayaran relatif sama dengan tugas yang diterima sedangkan eksternal adalah pembayaran pekerja sebanding dengan pembayaran oleh perusahaan lain dipasaran tenaga kerja. Jadi kompensasi berusaha untuk memberikan kewajaran terhadap pembayaranpembayaran yang diterima oleh pekerja baik dilihat dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Tjosvold et al. (2003); Reward and task system are potentially very critical for inducing cooperative conflict.

C. Kepuasan Kerja

Pada dasarnya bahwa seseorang dalam bekerja akan merasa nyaman dan tinggi kesetiannya pada perusahaan apabila dalam bekerjanya memperoleh kepuasan kerja sesuai dengan apa yang diinginkan. Khususnya di Perusahaan manufaktur kepuasan kerja sangat didambakan oleh semua pihak, karena dalam perusahaan manufaktur kegiatan dimulai dari pengadaan bahan baku sampai menjadi barang jadi penuh dengan tantangan baik secara psikologi maupun jasmani. Kepuasan kerja itu sendiri sebenarnya mempunyai makna apa bagi seorang pekerja ?, ada dua kata yaitu kepuasan dan kerja. Kepuasan adalah sesuatu perasaan yang dialami oleh seseorang, dimana apa yang diharapkan telah terpenuhi atau bahkan apa yang diterima melebihi apa yang diharapkan, sedangkan kerja merupakan usaha seseoranguntuk mencapai tujuan dengan memperoleh pendapatan atau kompensasi dari kontribusinya kepada tempat pekerjaannya.
Dole and Schroeder (2001); Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya, sedangkan menurut Testa (1999)dan Locke (1983); Kepuasan kerja merupakan kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman-pengalaman pekerjaan. Nasarudin (2001); Igalens and Roussel (1999); Job satisfaction may be as a pleasurable ar positive emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experiences. Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif atau dapat menyenangkan yang dihasilkan dari suatu penilaan terhadap pekerjaan atau pengalaman-pengalaman kerja seseorang.
Ward and Sloane (1999); elemen of job satisfaction : (1) relationship with colleagues; (2) relationship with head of department;(3) ability and efficiency of head of department; (4) hours of work; (5) opportunity to use initiative; (6) Promotion prospects; (7) salary; (8); job security; (9) actual work undertaken; (10) overall job satisfaction. Penelitian Linz (2002); mengatakan bahwa secra positif sikap terhadap kerja ada hubungan positif dengan kepuasan kerja.
Pada dasarnya makin positif sikap kerja makin besar pula kepuasan kerja, untuk itu berbagai indikator dari kepuasan kerja perlu memperoleh perhatian khusus agar pekerja dapat meningkatkan kinerjanya. Pada umumnya seseorang merasa puas dengan pekerjaanya karena berhasil dan memperoleh penilaiaan yang adil dari pimpinannya.


D. Kinerja

Seseorang akan selalu mendambakan penghargaan terhadap hasil pekerjaanya dan mengharapkan imbalan yang adil. Penilaiaan kinerja perlu dilakukan seobyektif mungkin karena akan memotivasi karyawan dalam melakukan kgiatannya.
Disamping itu pula penilaan kinerja dapat memberikan informasi untuk kepentingan pemberian gaji, promosi dan melihat perilaku karyawan. Waldman (1994); kinerja merupakan gabungan perilaku dengan prestasi dari apa yang diharapkan dan pilihannya atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu dalam organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2001:67); kinerja dapat didefinisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Cascio (1995:275) mengatakan bahwa kinerja merupakan prestasi karyawan dari tugas-tuganya yang telah ditetapkan. Soeprihantono (1988 :7); mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan seorang karyawan selama pereode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standard, target/sasran/criteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
Berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan , tentunya membtuhkankriteria yang jelas, karena masing-masingjenis pekerjaan tentunya mempunyai standar yang berbeda-beda tentang pencapaian hasilnya. Makin rumit jenis pekerjaan, maka standard operating procedure yang ditetapkan akan menjadi syarat mutlak yang harus dipatuhi.

1. Siklus Hidup Organisasi (Organizational Life Cyrcle)

Siklus organisasi tidak berhenti sampai organisasi tersebut lahir dan bisa berjalan, namun sangat diharapkan dapat hidup tanpa batas waktu meski kita tidak tahu kapan organisasi bisa terus tumbuh dan kapan kita terpaksa menghentikan kegiatan organisasi. Setiap orang yang mendirikan organisasi tidak hanya berharap organisasinya hanya sekedar hidup dan menjalankan kegiatannya, namun juga berharap organisasinya terus tubuh berkelanjutan (sustainable growth).
Tujuan memahami siklus hidup organisasi adalah agar dapat memahami karakteristik dan budaya pada setiap tahapan dalam siklus hidup organisasi, karena setiap tahapan mempunyai perbedaan. Dengan memahami karakteristik ini, maka setiap manajer akan lebih mudah menetapkan skala prioritas yang berbeda pada setiap tahapan. Disamping itu tujuan memahami siklus hidup organisasi adalah agar setiap orang lebih memiliki keterlibatan dalam organisasi, sehingga manajer lebih mudah menetapkan kapan dan bagaimana perubahan dilakukan untuk mempertahankan hidup organisasi dan menjamin keberlangsungan organisasi.
Ada beberapa pendapat tentang siklus hidup organisasi, namun penulis mencoba mencari yang lebih sederhana. Siklus hidup organisasi (SHO) bermula dari sebuah organisasi didirikan (birth stage). Setelah melewati masa kritis, bisa survive dan eksis, siklus organisasi berlanjut ketingkat berikutnya yaitu tumbuh dan menjadi besar (growth stage). Pertumbuhan organisasi ini pada titik tertentu akan berhenti (stagnant karena mengalami kejenuhan (maturity stagnant). Jika situasi kejenuhan ini bisa diatasi maka organisasi akan bangkit kembali (revival stage). Namun sebaliknya jika situasi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin siklus akan berlanjut ke tahap penurunan (declining stage) dan boleh jadi sampai ke tahap kematian (death).

2. Siklus Hidup Organisasi dan Perubahan Budaya Organisasi

Merubah budaya organisasi bukan perkara mudah, karena sekali budaya sudah terkristalisasi ke dalam masing-masing anggota organisasi dan tersistem dalam kehidupan organisasi, maka para anggota organisasi akan cenderung mempertahankannya tanpa memperhatikan apakah budaya organisasi tersebut functional atau dysfunctional terhadap kehidupan organisasi. Dengan kata lain perubahan budaya hampir selalu berhadapan dengan resistensi para karyawan, sehingga perubahan budaya seringkali berjalan secara gradual dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Perubahan budaya umumnya diawali dengan adanya krisis organisasi (vicious cyrcle) yakni ketika organisasi berusaha mengatasi situasi kritis baik yang berasal dari dalam organisasi maupun dari luar lingkungan organisasi. Namun demikian tidak berarti bahwa pada tahap pertumbuhan tidak dimungkinkan adanya perubahan budaya organisasi. Hal ini berarti bahwa pada setiap tahap organisasi dimungkinkan adanya perubahan budaya, hanya yang membedakan adalah tujuan dari perubahan tersebut.

a. Mekanisme perubahan pada tahap berdiri dan pertumbuhan

Pada tahap ini organisasi belum begitu kompleks dan peran pendiri dan atau keluarganya sangat dominant, sehingga budaya organisasi merupakan cerminan nilainilai dan pandangan para pendiri dan para pekerja yang datang belakangan hanya sekedar mengikuti, mempelajari dan mengikuti saja seolah-olah tidak mempunyai peran dalam membangun budaya organisasi. Bagi para pendiri budaya organisasi lebih berfungsi sebagai alat untuk mengintegrasikan pekerja dengan organisasi, alat perekat diantara anggota organisasi dan alat untuk membangun komitmen dalam rangka menunjukkan identitas diri organisasi sehingga jika ada perubahan budaya organisasi lebih disebabkan karena adanya tuntutan internal dan agar terjadinya kohesivitas atau integrasi internal yang semakin kokoh.

Ada 4 (empat) mekanisme perubahan yang bisa digunakan yaitu :
1. Perubahan evolutif yang bersifat natural; Perubahan budaya yang bersifat natural tanpa adanya rekayasa perencanaan sebelumnya dan lebih berorientasi internal dalam kerangka memperkokoh nilai-nilai yang sudah ada.
2. Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi (self guided) dengan menggunakan terapi organisasi; Perubahan budaya karena adanya kesadaran akan pentingnya memantau terus kondisi internal organisasi, melakukan penilaian dan evaluasi sehingga mengetahui kelemahan dan kelebihan organisasi. Perubahan ini terkadang membutuhkan keterlibatan orang luar dengan tujuan memberikan jaminan secara psikologis kepada orang-orang dalam organisasi bahwa perubahan tidak perlu ditakutkan.
3. Perubahan evolutif dengan hybrids; Perubahan budaya dengan membiarkan budaya lama tetap eksis namun pada saat yang bersamaan mulai diperkenalkan budaya baru sampai pada saatnya nanti budaya baru benar-benar bisa menggantikan budaya yang lama. Untuk perubahan ini diperlukan bantuan orang dalam yang sudah lama bergabung dengan perusahan, sehingga keberadaannya dapat diterima semua pihak.
4. Perubahan revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar organisas; Perubahan ini bisa dikatakan revolusioner karena perubahanya melibatkan orang luar meski perubahannya masih dalam batas kendali organisasi (para pendiri).

b. Mekanisme perubahan pada tahap perkembangan

Pada tahap ini tujuan perubahan budaya adalah untuk melakukan adaptasi eksternal yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Adapun mekanisme yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Perubahan terencana dan pengembangan organisasi (Planned change and organizational development); Perubahan yang dilakukan secara terencana untuk menselaraskan budaya dengan perkeambangan organisasi di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan perkembangan organisasi tidak sesuai lagi dengan budaya organisasi yang ada.
2. Perubahan budaya dengan memperkenalkan teknologi baru (technological seduction); Perubahan budaya dikarenakan adanya perubahan penggunaan teknologi baru. Perubahan teknologi akan mendorong perubahan perilaku yang merupakan hasil adopsi nilai, keyakinan dan asumsi baru dalam menjalankan aktifitas perusahaan.
3. Perubahan budaya dengan memaparkan sisi negative dari mitos yang selama ini berkembang di dalam organisasi; Perubahan dilakukan dengan mengembangkan asumsi atau mitos lain yang lebih relevan dalam menjalankan aktifitas perusahaan.
4. Perubahan sedikit demi sedikit tetapi konsisten (Incrementalism); Perubahan dilakukan dengan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada dalam upayanya untuk mempengaruhi semua pihak yang terlibat dalam perusahan sehingga tujuan akhir tercapai.

c. Mekanisme perubahan pada tahap penurunan

Penurunan biasanya diawali dengan adanya krisis organisasi yang disebabkan perubahan internal dan eksternal organisasi. Pada situasi seperti ini biasanya perubahan dilakukan secara structural atau radikal dengan 2 (dua) opsi yang berkembang yaitu transformasi dan destruksi. Adapun mekanisme perubahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perubahan yang bersifat persuasi dengan sedikit ancaman (coercive persuasion); Perubahan dengan memaksa orang membuka pbikirannya agar bisa memotivasi dirinya untuk mencari informasi baru sehingga ia bisa mendefinisikan ulang kedudukan dirinya dan menentukan apa yang dilakukannya.
2. Perubahan budaya melalui strategi penyehatan organisasi (turnaround); Perubahan ini biasanya dilakukan dengan mulai memperkenalkan budaya baru dengan cara meng-edukasi dan coaching para anggota organisasi, merubah struktur dan proses organisasi, memberi perhatian dan penghargaan, menciptakan slogan disamping memberikan sedikit ancaman bagi mereka yang tidak mau berubah.
3. Perubahan budaya melalui reorganisasi dan melahirkan kembali organisasi baru (reorganization and rebirth); Perubahan ini dimulai dengan pembubaran organisasi kemudian membentuk organisasi yang baru baik secara simbolik yaitu dengan cara menata ulang visi, misi dan tujuan jangka panjang serta pergantian kepemimpinan. Sedangkan secara riil berupa berbentuk akuisisi dan merger bahkan joint venture (aliansi strategis).

D. Strategi Generik Perubahan Budaya

Secara umum Paul Bate menawarkan 4 (empat) pendekatan perubahan budaya yaitu :
a. Pendekatan agresif (Aggressive approach); Perubahan budaya dengan menggunakan pendekatan kekuasaan, non-kolaboratif, membuat konflik, sifatnya dipaksakan, sifatnya win-lose, unilateral dan menggunakan dekrit. Menurut Schein disebut pendekatan structural karena mencabut akar-akar budaya yang ada.
b. Pendekatan jalan damai (Conciliative approach); Perubahan budaya dilakukan secara kolaboratif, dipecahkan bersama, win-win, integratif dan memperkenalkan budaya yang baru terlebih dahulu sebelum mengganti budaya yang lama
c. Pendekatan korosif (Corrosive approach; Perubahan budaya yang dilaukan dengan pendekatan informal, evolutif, tidak terencana, politis, koalisi dan mengandalkan networking. Budaya lama sedikit demi sedikit dirusak dan diganti dengan budaya baru
d. Pendekatan indoktrinasi (Indoctrinative approachI); Pendekatan yang bersifat normatif dengan menggunakan program pelatihan dan pendidikan ulang terhadap pemahaman budaya yang baru.
Berdasarkan pendekatan tersebut diatas, maka Paul Bate menyampaikan ada 5 (lima) tahap perubahan budaya yaitu :
1. Deformative (Tahap gagasan perubahan) yaitu perubahan budaya belum benar-benar terjadi, baru sebatas gagasan yang menegaskan bahwa perubahan budaya perlu dilakukan. Pada tahap ini biasanya terjadi shock therapy dan mendramatisir pemaparan perlunya perubahan budaya
2. Reconsiliative (Tahap dukungan gagasan perubahan) yaitu Adanya dukungan berbagai pihak terhadap gagasan perubahan budaya. Pada tahap ini terjadinya negosiasi terhadap pelaku budaya baik dari pihak inisiator atau pendorong perubahan maupun pihak yang tidak setuju perubahan budaya
3. Acculturative (Tahap komunikasi dan komitmen) yaitu terjadinya komunikasi yang intensif terhadap kesepakatan yang diperloleh pada tahap sebelumnya untuk menciptakan komitmen. Pada tahap ini perlu dilakukan proses sosialisasi dan edukasi untuk membantu penetrasi perubahan budaya
4. Enactive (Tahap pelaksanaan perubahan) yaitu pelaksanaan hasil pemikiran, pembahasan dan diskusi tentang budaya baru. Pelaksanaan ini terdapat 2 (dua) bentu yaitu personal enactment (masing-masing individu melakukan tindakan yang memungkinkan budaya menjadi bagian dari kehidupan mereka) dan collective enactment (para pelaku budaya secara bersama-sama memecahkan persoalan cultural yang selama ini masih menggantung) 5. Formative (Tahap pembentukan struktur dan bentuk budaya) yaitu saat membentuk dan mendesain struktur budaya sehingga budaya yang dulunya invisible menjadi visible bagi semua anggaota organisasi.
Dalam melaksanakan perubahan budaya perlu memperhatikan beberapa dimensi perubahan antara lain :
a. Dimensi struktural (budaya yang akan dirubah); Tujuannya bukan hanya sekedar mengetahui budaya yang ada tetapi juga agar pelaku perubahan bisa belajar tentang pola pikir irganisasi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya
b. Dimensi ruang dan waktu (asal muasal terbentuknya budaya dan perjalanannya sepanjang waktu); Tujuannya agar dalam perubahan budaya tidak terjadi kesalahan yang sama di masa datang
c. Dimensi proses perubahan (posisi budaya dalam siklus kehidupan budaya)
d. Dimensi konstekstual (situasi lingkungan di mana budaya berada)
e. Dimensi subyektif (tujaun dan keterlibatan orang per orang dalam perubahan) Disamping itu untuk menilai efektifitas perubahan budaya Paul Bate juga menentukan parameternya antara lain :
1. Daya ekspresi yaitu kemampuan untuk menyampaikan ide-ide baru
2. Daya komonolitas yaitu kemampuan untuk membentuk satu set nilai
3. Daya penetrasi yaitu kemampuan untuk menembus berbagai level organisasi
4. Daya adaptif yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah
5. Daya tahan yaitu kemampuan untuk menciptakan perubahan yang hasilnya bisa tahan lama.

E. Resistensi Terhadap Perubahan Budaya

Meski sebagai manusia kita sadar bahwa perubahan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, namun ketika perubahan itu menimpa diri kita belum tentu kita mau menerimanya dengan sukarela. Ada beberapa bentuk resistensi (perlawanan) terhadap perubahan budaya yaitu :
a. Culture of denial (Pengingkaran); Munculnya persepsi tentang pengingkaran komitmen perusahan kepada karyawan untuk tetap mempertahankan lingkungan kerja yang kondusif
b. Culture of fear (Ketakuatan); Munculnya kekhawatiran, stres, depresi dan takut terhadap dampak perubahan yang akan terjadi
c. Culture of cynism (Sinisme); Munculnya persepsi bahwa perubahan budaya hanya rekayasa sebagian orang dan tidak sungguh-sungguh serta hanya untuk kepentingan sebagian pihak saja
d. Culture of self-interest (Mementingkan diri sendiri); Munculnya sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri dengan mencari peluang di luar perusahaan.
e. Culture of distrust (Ketidakpercayaan); Munculnya perasaan saling curiga terhadap sesama mitra kerja (horizontal) dan kepada eksektufi (vertical) f. Culture of anomie (Ketidakstabilan social); Munculnya perubahan sosial akibat perubahan gaya kepemimpinan, sikap, pola pikir dan perilaku yang lama.
Disamping bentuk-bentuk resistensi tersebut diatas, perubahan budaya juga dapat menimbulkan munculnya sub budaya yang terselubung (The rise of underground subculture). Hal ini disebabkan ada sebagian orang yang setengah hati menerima budaya baru, sehingga tidak jarang mereka mengadopsi budaya baru sambil tetap mengidentifikasikan dirinya dengan simbol, nilai dan ritual budaya lama.

F. Bentuk-bentuk reaksi karyawan terhadap perubahan budaya organisasi

Meskipun dalam perubahan budaya terdapat perlawanan (resistance) yang merupakan bentuk negatif dari perubahan, tetapi tidak jarang juga ada reaksi positif dalam perubahan budaya. Bentuk-bentuk reaksi tersebut antara lain :
a. Active acceptance yaitu karyawan menerima apa adanya perubahan budaya
b. Selective reinvention yaitu karyawan mencoba mendaur ulang beberapa elemen budaya lama seolah-olah menjadi budaya baru
c. Reinvention yaitu secara umum karyawan enggan melakukan perubahan
d. General acceptance yaitu karyawan mau menerima perubahan meski tidak sepenuhnya. Ada beberapa yang ditolal dengan asumsi budaya lama lebih cocok
e. Dissonance yaitu karyawan mengalami keraguan antara menerima dan menolak perubahan
f. General rejection yaitu secara umum karyawan menolak perubahan meski perubahan masih diterima dengan alasan budaya lama tidak lagi kondusif
g. Reinterpretation yaitu secara umum karyawan mencoba menginterpretasikan
perubahan dan menyesuaikan diri
h. Selective reinterpretation yaitu karyawan menginterpretasikan kembali beberapa komponen budaya dan menolak sebagian yang lain
i. Active rejection yaitu karyawan serta merta menolak perubahan budaya.









BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa Budaya organisasi berpengaruh terhadap Motivasi dan Kepuasan kerja serta Kinerja pada karyawan industri pengolahan kayu skala menengah di Jawa Timur dapat diterima. Keempat variabel tersebut merupakan faktor-faktor dalam perilaku organisasi yang harus mendapatkan perhatian khusus bagi semua pihak yang terkait dengan proses produksi. Penelitian ini dapat memberikan informasi pada manajemen dalam mengelola Sumber daya manusia, artinya bahwa mengelola Sumber daya manusia tidak terlepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Pada prinsipnya tujuan mengelola Sumber daya manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama antara perusahaan dan semua karyawan yang terlibat dengan aktivitas perusahaan. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada perusahaan yang sejenis tetapi berskala besar dengan tujuan untuk mengetahui apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap Motivasi dan Kepuasan kerja serta Kinerja karyawan berlaku pula bagi perusahaan yang berskala besar. Hal ini perlu dilakukan karena kemungkinan yang terjadi adalah adanya perbedaan pengaruh motivasi terhadap Kepuasan kerja karyawan antara perusahaan skala menegah dan besar, disamping itu apakah ada perbedaan kepuasan kerja dan kinerja antara perusahaan skala menengah dan besar.

B. REKOMENDASI

Organisasi yang bertujuan laba dan nonlaba memerlukan suatu visi dan misi yang jelas. Untuk mencapai tujuan pasti membutuhkan proses atau rangkaian kegiatan disitulah salah satu peranan yang baik adalah memahami perilaku lingkungan, individu dan organisasi. Maka kedepan organisasi itu baik harus ada motivasi yang jelas oleh semua orang yang berkepentingan.
















DAFTAR ISI


Kartono, Kartini, 1994, Psikologi Sosial untuk Manajemen, Perusahaan dan industri, Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada.
Mangkunegara, AA Anwar Prabu, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung PT.Remaja Rosdakarya.
Robbins, Stephen P., 1996 Perilaku Organisasi, Konsep-Kontroversi-Aplikaso, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, PT.Prenhalindo.
Luthans, Fred, 1992, Organizational Behavior, Sixth Edition, Singapore: McGraw Hill Book Co.

BUDAYA ORGANISASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah penanganan terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia. Jumlah sumber daya manusia yang besar apabila dapat didayagunakan secara efektif dan efisien akan bermanfaat untuk menunjang gerak lajunya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Melimpahnya sumber daya manusia yang ada saat ini mengharuskan berfikir secara seksama yaitu bagaimana dapat memanfaatkan sumber daya manusia secara optimal. Agar di masyarakat tersedia sumber daya manusia yang handal diperlukan pendidikan yang berkualitas, penyediaan berbagai fasilitas sosial, lapangan pekerjaan yang memadai. Kelemahan dalam penyediaan berbagai fasilitas tersebut akan menyebabkan keresahan sosial yang akan berdampak kepada keamanan masyarakat. Saat ini kemampuan sumber daya manusia masih rendah baik dilihat dari kemampuan intelektualnya maupun keterampilan teknis yang dimilikinya.
Persoalan yang ada adalah bagaimana dapat menciptakan sumber daya manusia yang dapat menghasilkan kinerja yang optimal sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Produktivitas kerja merupakan tuntutan utama bagi perusahaan agar kelangsungan hidup atau operasionalnya dapat terjamin. Produktivitas suatu badan usaha dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah maupun pusat, artinya dari produktivitas regional maupun nasional, dapat menunjang perekonomian baik secara makro maupun mikro. Mengenai produktivitas kerja menjadi masalah nasional pula, karena produktivitas tenaga kerja Indonesia masih memprihatinkan. Zadjuli (2001 : 6); kualitas sumber daya manusia Indonesia dewasa ini dibandingkan dengan kualitas sumber daya manusia di beberapa negara anggota-anggota ASEAN nampaknya masih rendah kualitasnya, sehingga mengakibatkan produktivitas per jam kerjanya masih rendah (menurut World Development Report, Indonesia pada tahun 2002 produktivitas per pekerja per jam sebesar 1,84 US $ dan yang tertinggi adalah Singapura 35,91 US $, diikuti oleh Malaysia 4,71 US $ dan Thailand 4,56 US $). Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, untuk itu perusahaan harus berusaha menjamin agar faktor-faktor yang berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja dapat dipenuhi secara maksimal. Kualitas sumber daya manusia akan terpenuhi apabila kepuasan kerja sebagai unsur yang berpengaruh terhadap kinerja dapat tercipta dengan sempurna.
Membahas kepuasan kerja tidak akan terlepas dengan adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Dalam perusahaan manufacturing, produktivitas individu maupun kelompok sangat mempengaruhi kinerja perusahaan hal ini disebabkan oleh adanya proses pengolahan bahan baku menjadi produk jadi. Mengingat permasalahannya sangat komplek sekali, maka pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi harus cermat dalam mengamati sumber daya yang ada.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, sehingga pengusaha harus menjaga factor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja dapat terpenuhi secara maksimal.
Persoalan kepuasan kerja akan dapat terlaksana dan terpenuhi apabila beberapa variabel yang mempengarhui mendukung sekali. Variabel yang dimaksud adalah Culture dan Motivation. Dapat dikatakan pula bahwa secara tidak langsung ketiga variabel tersebut mempengaruhi kinerja seseorang dan pada ujung-ujungnya kinerja perusahaan dapat tercapai dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut, agar karyawan selalu konsisten dengan kepuasannya maka setidak-tidaknya perusahaan selalu memperhatikan lingkungan di mana karyawan melaksanakan tugasnya misalnya rekan kerja, pimpinan, suasana kerja dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalankan tugasnya.
Membahas masalah budaya itu sendiri merupakan hal yang esensial bagi suatu organisasi atau perusahaan, karena akan selalu berhubungan dengan kehidupan yang
ada dalam perusahaan. Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama
serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu. Secara spesifik budaya dalam organisasi akan ditentukan oleh kondisi team work, leaders dan characteristic of organization serta administration process yang berlaku. Mengapa budaya organisasi penting, karena merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki organisasi
yang mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi.
Budaya yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi menjadi kuat dan tujuan perusahaan dapat terakomodasi. Robbins (2001:528); Organizational culture as an intervening variable. Employees form an overall subjective perception of the organization based on such factor as degree of risk tolerance, team emphasis and support of people. This overall perception becomes, in effect, the organization culture or
personality. These favorable or unfavorable perception then affect employee performance and satisfaction, with the impact being greater for stronger culture.
Faktor lain yang berperan dalam menjadikan karyawan lebih berperilaku terarah apabila ada unsur-unsur positif dalam dirinya masing-masing. Luthans (1992:165); Porter and Lawler start with the premise that motivation (effort or force) does not equal satisfaction and/or performance. Motivation, satisfaction and performance are all separate variables and relate in ways different from what was traditionally assumed. Hughes et al. (1999:388); Motivation, satisfaction and performance seem clearly related. Pada umumnya dalam diri seorang pekerja ada dua hal yang penting dan dapat memberikan motivation atau dorongan yaitu masalah Compensation dan Expectancy. Khususnya masalah compensation sebagai imbal jasa dari pengusaha kepada karyawan yang telah memberikan kontribusinya selalu menjadikan sebagai ukuran puas atau tidaknya seseorang dalam menjalankan tugasnya atau pekerjaannya. Demikian pula pemberian compensation dapat berdampak negative apabila dalam pelaksanaannya tidak adil dan tidak layak yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan. Besar kecilnya compensation yang diberikan kepada karyawan seharusnya tergantung kepada besar kecilnya power of contribution and thinking yang disampaikan oleh pekerja kepada perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut mengingat pemberian compensation harus adil tentunya harus ada ukuran yang jelas dan transparan misalnya berdasarkan outputnya (prestasi yang dicapai).
Dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai essential-nya dalam pemberian compensation adalah fair and suitable. Biasanya compensation dirupakan dalam bentuk financial dan non financial yang mana kedua-duanya akan diberikan dalam berbagai kesempatan yang berbeda.
Mengenai Expectancy, setiap orang akan memiliki harapan-harapan yang akan diperoleh dalam melakukan kegiatannya, oleh karena itu tanpa adanya nilai harapan
yang dimiliki, seseorang tidak akan melakukan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam expectancy theory dinyatakan bahwa orang termotivasi bereaksi dalam kehidupannya, berkeinginan menghasilkan kombinasi dari hasil-hasil yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka nampak jelas bahwa expectancy dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini wajar karena manusia selalu mempunyai need yang berbeda-beda menurut status sosialnya di masyarakat, sehingga unsur pembentuk expectancy-nya berbeda-beda pula.
Behavior merupakan bagian dari budaya yang berkaitan dengan kinerja, hal ini tentunya logis sekali sebab dengan berperilaku seseorang akan dapat memperoleh apa yang dikehendaki dan apa yang diharapkan. Jadi behavior merupakan tindakan yang nyata dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh apa yang diharapkan. Dalam organisasi tentunya banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan jalannya organisasi atau perusahaan tentunya diwarnai oleh perilaku individu yang merasa berkepentingan dalam kelompoknya masing-masing. Perilaku individu yang berada dalam organisasi atau perusahaan tentunya sangat mempengaruhi organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini akibat adanya kemampuan individu yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas atau aktivitasnya. Perilaku akan timbul atau muncul akibat adanya pengaruh atau rangsangan dari lingkungan yang ada (baik internal maupun eksternal) begitu pula individu berperilaku karena adanya dorongan oleh serangkaian kebutuhan. Setiap manusia atau seseorang selalu mempertimbangkan perilakunya terhadap segala apa yang diinginkan agar dapat tercapai tanpa menimbulkan konflik baik secara individu maupun kelompok, sehingga kinerja dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan.
Mc Kenna and Beech (1995:121); In research undertaken by Income Data Service, London (IDS,1989) it was concluded that the performance factors most usually appraised were as follows:(1) knowledge, ability and skill on the job, (2) attitude to work, expressed as enthusiasm, commitment and motivation,(3) quality of work on a consistent basis with attention to detail,(4) volume of performance output, (5) interaction, amplified in communication, skill and ability to related to others in terms.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan maka permasalahan Job performance berkaitan dengan efektivitas kerja, untuk itulah penting kiranya membuat suatu model yang membicarakan job performance (kinerja) dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu melakukan analisis pengaruh faktor perilaku organisasi terhadap kepuasan kerja dan kinerja, pengertian faktor perilaku organisasi disini adalah budaya organisasi dan motivasi.

Pada pembahasan ini mencoba mengangkat permasalahan yang terjadi pada perusahaan-perusahaan pengolahan kayu untuk kebutuhan ekspor berekala menengah yang berada di Jawa Timur melalui job performance tenaga kerjanya dan diukur melalui berbagai indikator yang ada.



Tentang kemampuan Jawa Timur yang menghasilkan produk pengolahan kayu ekspor dapat diuraikan dalam table 1.

No Uraian Tahun 1998 Tahun 1999 Tahun 2000 Tahun 2001
1` Keluaran Rp 772.016.224.400 Rp 1.042.221.903.000 Rp 1.042.221.903.000 Rp. 1.684.194.457.000 Rp. 2.210.324.637.000
2 Tenaga kerja 25.758 orang 22.050 orang 26.710 orang 27.079 orang
3 Bahan-bahan Rp 429.938.100.600 Rp 583.644.265.700 Rp 953.722.591.500 Rp 1.397.426.172.000
4 Jml. perusahaan 149 170 179 176
Sumber: BPS Jawa Timur, disusun dan diolah kembali.

Peluang pasar menurut survei pada tahun 2002 yang dilakukan oleh KADINDA Daerah Tingkat I Jawa Timur, beberapa negara yang berpotensi untuk impor kayu olahan dari Jawa Timur seperti Table 2.

Tabel 2. Peluang Pasar Kayu Ekspor di Jawa Timur Tahun 2002
Jerman
Rp 1.204.208.340.000,-
Australia
Rp 1.221.564.000.000,-
Singapura
Rp 56.223.730.000,-
Jepang
Rp 1.540.901.350.000,-
Yunani
Rp 68.275.300.000,-
Sumber: KADINDA Tk. I Jawa Timur

Mengingat begitu pentingnya kegiatan ekspor dalam usaha untuk meningkatkan devisa negara, tidak salah apabila harus memperhatikan perilaku dari sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan. Hal tersebut berkaitan dengan usaha-usaha menciptakan produktivitas kerja dan disertai mutu produk yang handal. Peningkatan produktivitas merupakan keharusan karena komitmen manajemen terhadap kualitas layanan memegang peran yang sangat penting agar perolehan perusahaan dapat tercapai dan terjamin kesinambungan usahanya. Di Jawa Timur banyak perusahaan pengolahan kayu berskala menengah melakukan ekspor hasil produksinya. Berkaitan dengan hal tersebut perlu memperoleh kajian khusus tentang sumber daya manusianya agar perolehan devisa dari sektor pengolahan kayu dapat ditingkatkan.
Iklim usaha menengah dalam sektor pengolahan kayu sebenarnya sangat menjanjikan apabila semua pihak yang terkait ikut berperan karena putra-putra Indonesia cukup handal dalam bidang industri pengolahan kayu selain itu bahan bakunya cukup terpenuhi karena alamnya mendukung.









B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap Kepuasan kerja ?
2. Apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap Motivasi
3. Apakah Motivasi berpengaruh terhadap Kepuasan kerja ?
4. Apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja ?
5. Apakah Motivasi berpengaruh terhadap Kinerja ?
6. Apakah Kepuasan kerja berpengaruh terhadap Kinerja?













BAB II
LANDASAN TEORI


A. Budaya Organisasi

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak akan terlepas dari lingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula oleh lingkungannya dan agar kepribadian tersebut mengarah kepada sikap dan perilaku yang positif tentunya harus didukung oleh suatu norma yang diakui tentang kebenanrannya dan dipatuhi sebagai pedoman dalam bertindak. Pada dasarnya manusia atau seseorang yang berada dalam kehidupan organisasi berusaha untuk menentukan dan membentuk sesuatu yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, agar dalam menjalankan aktivitasnya tidak berbenturan dengan berbagai sikap dan perilaku dari masingmasing individu. Sesuatu yang dimaksud tidak lain adalah budaya dimana individu berada, seperti nilai, keyakinan, anggapan, harapan dan sebagainya.
Glaser et al. (1987); Budaya organisasi seringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual dan mitosmitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau perusahaan, tentunya mempunyai budaya yang berbeda-beda hal ini wajar karena lingkungan organisasinya berbeda-beda pula misalnya perusahaan jasa, manufaktur dan trading. Hofstede (1986:21); Budaya merupakan berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang dalam lingkungannya. Menurut Beach (1993:12); Kebudayaan merupakan inti dari apa yang penting dalam organisasi. Seperti aktivitas memberi perintah dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang dilakukan dan tidak dilakukan yang mengatur perilaku anggota. Jadi budaya mengandung apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pedoman yang dipakai untuk menjalankan aktivitas organisasi. Pada dasarnya Budaya organisasi dalam perusahaan merupakan alat untuk mempersatukan setiap invidu yang melakukan aktivitas secara bersama-sama.
Kreitner dan Kinicki (1995:532); mengemukakan bahwa budaya orgainsasi adalah perekat social yang mengingat anggota dari organisasi. Nampaknya agar suatu karakteristik atau kepribadian yang berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat disatukan dalam suatu kekuatan organisasi maka perlu adanya prekat sosial.
Pendapat Bliss (1999) mengatakan bahwa didalam budaya terdapat kesepakatan yang mengacu pada suatu sistem makna secara bersama, dianut oleh anggota organisasi dalam membedakan organisasi yang satu dengan yang lainnya. Lain halnya dengan Robbins (1996:289); budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, dan merupakan suatu sistem makna bersama.
Mengingat budaya organisasi merupakan suatu kespakatan bersama para anggota dalam suatu organisasi atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang lebih luas untuk kepentingan perorangan. Keutamaan budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi. Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dengan budaya organisasi dan pada umumnya mereka akan dipengaruhi oleh keaneka ragaman sumber-sumber daya yang ada sebagai stimulus seseorang bertindak Kartono (1994 :138); mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang muncul pada kelompok-kelompok kerja di perusahaan-perusahaan berasal dari macam-macam sumber, antara lain : dari stratifikasi kelas sosial asal buruh –buruh/pegawai, dari sumber-sumber teknis dan jenis pekerjaan, iklim psikologis perusahaan sendiri yang diciptakan oleh majikan, para direktur dan manajer-manajer yang melatarbelakangi iklim kultur buruh-buruh dalam kelom pok kecil-kecil yang informal. Hidayat (2002); we were all born of human beings and then grew up by social upbringing with culture environment. Since cultures always process plural nation language, tradition and relegion are indispensably diverse.
Molenaar (2002), Kotter dan Heskett (1992); Budaya mempunyai kekuatan yang penuh, berpengaruh pada individu dan kinerjanya bahkan terhadap lingkungan kerja. Buchanan dan Huczyski (1997:518); elemen-elemen budaya organisasi atau perusahaan adalah nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, pendapat-pendapat, sikapsikap dan norma-norma.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang tentunya berbeda-beda dalam bentuk perilakunya. Dalam organisasi implementasi budaya dirupakan dalam bentuk perilaku artinya perilaku individu dalam organisasi akan diwarnai oleh budaya organisasi yang bersangkutan. Arnold dan Feldman (1986:24); perilaku individu berkenaan dengan tindakan yang nyata dilakukan oleh seseorang dapat diartikan bahwa dalam melakukan tindakan seseorang pasti akan tidak terlepas dari perilakunya.

B. Motivasi

Berbagai usaha yang dilakukan oleh manusia tentunya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya, namun agar keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi tidaklah mudah didapatkan apabila tanpa usaha yang maksimal. Mengingat kebutuhan orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda tentunya cara untuk memperolehnya akan berbeda pula. Dalam memenuhi kebutuhannya seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Teori motivasi merupakan konsep yang bersifat memberikan penjelasan tentang kebutuhan dan keinginan seseorang serta menunjukkan arah tindakannya. Motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren.
Herpen et al. (2002); hasil penelitiannya mengatakan bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan ekstrinsik Sedangkan Gacther and falk (2000), Kinman and Russel (2001); Motivasi intrinsik dan ekstrinsik sesuatu yang sama-sama mempengaruhi tugas seseorang. Kombinasi insentive intrinsik dan ekstrinsik merupakan kesepakatan yang ditetapkan dan berhubungan dengan psikologi seseorang.
Berbagai teori motivasi yang ada salah satunya adalah Porter Lawler Model. Persoalan antara kepuasan kerja dan kinerja muncul sejak adanya gerakan hubungan antar manusia. Sebenarnya dalam teori muatan tersirat adanya bahwa kepuasan mengarah kepada kinerja dan tidak kepuasan menurunkan kinerja. Porter Lawler menyatakan bahwa proses kognitif dalam persepssi memainkan suatu peran sentral bahwa hubungan antara kepuasan dan kinerja berhubngan secara langsung dengan suatu model motivasi.
Menurut Mondy and Noe (1996:358); Direct financial compensation consist of the pay that a person receives in the form of wages salaries, bonuses and commissions. Indirect financial compensation (benefits) includes all financial rewards that are not included direct compensation. Kompensasi non keuangan terdiri dari kepuasan yang diterima oleh seseorang dari tugas atau dari psikologi dan atau lingkungan phisik dimana seseorang bekerja.
Pada saat-saat tertentu seseorang dalam menerima kompensasi akan mengukur penerimaannya dengan bentuk nonfinancial atau financial hal ini tergantung pada tingkat kebutuhan yang dimilikinya. Werther and Davis (1996:381); Manajemen kompensasi berusaha keras membuat keadilan luar dan dalam. Internal menghendaki keadilan nilai pembayaran relatif sama dengan tugas yang diterima sedangkan eksternal adalah pembayaran pekerja sebanding dengan pembayaran oleh perusahaan lain dipasaran tenaga kerja. Jadi kompensasi berusaha untuk memberikan kewajaran terhadap pembayaranpembayaran yang diterima oleh pekerja baik dilihat dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Tjosvold et al. (2003); Reward and task system are potentially very critical for inducing cooperative conflict.

C. Kepuasan Kerja

Pada dasarnya bahwa seseorang dalam bekerja akan merasa nyaman dan tinggi kesetiannya pada perusahaan apabila dalam bekerjanya memperoleh kepuasan kerja sesuai dengan apa yang diinginkan. Khususnya di Perusahaan manufaktur kepuasan kerja sangat didambakan oleh semua pihak, karena dalam perusahaan manufaktur kegiatan dimulai dari pengadaan bahan baku sampai menjadi barang jadi penuh dengan tantangan baik secara psikologi maupun jasmani. Kepuasan kerja itu sendiri sebenarnya mempunyai makna apa bagi seorang pekerja ?, ada dua kata yaitu kepuasan dan kerja. Kepuasan adalah sesuatu perasaan yang dialami oleh seseorang, dimana apa yang diharapkan telah terpenuhi atau bahkan apa yang diterima melebihi apa yang diharapkan, sedangkan kerja merupakan usaha seseoranguntuk mencapai tujuan dengan memperoleh pendapatan atau kompensasi dari kontribusinya kepada tempat pekerjaannya.
Dole and Schroeder (2001); Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya, sedangkan menurut Testa (1999)dan Locke (1983); Kepuasan kerja merupakan kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman-pengalaman pekerjaan. Nasarudin (2001); Igalens and Roussel (1999); Job satisfaction may be as a pleasurable ar positive emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experiences. Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif atau dapat menyenangkan yang dihasilkan dari suatu penilaan terhadap pekerjaan atau pengalaman-pengalaman kerja seseorang.
Ward and Sloane (1999); elemen of job satisfaction : (1) relationship with colleagues; (2) relationship with head of department;(3) ability and efficiency of head of department; (4) hours of work; (5) opportunity to use initiative; (6) Promotion prospects; (7) salary; (8); job security; (9) actual work undertaken; (10) overall job satisfaction. Penelitian Linz (2002); mengatakan bahwa secra positif sikap terhadap kerja ada hubungan positif dengan kepuasan kerja.
Pada dasarnya makin positif sikap kerja makin besar pula kepuasan kerja, untuk itu berbagai indikator dari kepuasan kerja perlu memperoleh perhatian khusus agar pekerja dapat meningkatkan kinerjanya. Pada umumnya seseorang merasa puas dengan pekerjaanya karena berhasil dan memperoleh penilaiaan yang adil dari pimpinannya.


D. Kinerja

Seseorang akan selalu mendambakan penghargaan terhadap hasil pekerjaanya dan mengharapkan imbalan yang adil. Penilaiaan kinerja perlu dilakukan seobyektif mungkin karena akan memotivasi karyawan dalam melakukan kgiatannya.
Disamping itu pula penilaan kinerja dapat memberikan informasi untuk kepentingan pemberian gaji, promosi dan melihat perilaku karyawan. Waldman (1994); kinerja merupakan gabungan perilaku dengan prestasi dari apa yang diharapkan dan pilihannya atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu dalam organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2001:67); kinerja dapat didefinisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Cascio (1995:275) mengatakan bahwa kinerja merupakan prestasi karyawan dari tugas-tuganya yang telah ditetapkan. Soeprihantono (1988 :7); mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan seorang karyawan selama pereode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standard, target/sasran/criteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
Berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan , tentunya membtuhkankriteria yang jelas, karena masing-masingjenis pekerjaan tentunya mempunyai standar yang berbeda-beda tentang pencapaian hasilnya. Makin rumit jenis pekerjaan, maka standard operating procedure yang ditetapkan akan menjadi syarat mutlak yang harus dipatuhi.

1. Siklus Hidup Organisasi (Organizational Life Cyrcle)

Siklus organisasi tidak berhenti sampai organisasi tersebut lahir dan bisa berjalan, namun sangat diharapkan dapat hidup tanpa batas waktu meski kita tidak tahu kapan organisasi bisa terus tumbuh dan kapan kita terpaksa menghentikan kegiatan organisasi. Setiap orang yang mendirikan organisasi tidak hanya berharap organisasinya hanya sekedar hidup dan menjalankan kegiatannya, namun juga berharap organisasinya terus tubuh berkelanjutan (sustainable growth).
Tujuan memahami siklus hidup organisasi adalah agar dapat memahami karakteristik dan budaya pada setiap tahapan dalam siklus hidup organisasi, karena setiap tahapan mempunyai perbedaan. Dengan memahami karakteristik ini, maka setiap manajer akan lebih mudah menetapkan skala prioritas yang berbeda pada setiap tahapan. Disamping itu tujuan memahami siklus hidup organisasi adalah agar setiap orang lebih memiliki keterlibatan dalam organisasi, sehingga manajer lebih mudah menetapkan kapan dan bagaimana perubahan dilakukan untuk mempertahankan hidup organisasi dan menjamin keberlangsungan organisasi.
Ada beberapa pendapat tentang siklus hidup organisasi, namun penulis mencoba mencari yang lebih sederhana. Siklus hidup organisasi (SHO) bermula dari sebuah organisasi didirikan (birth stage). Setelah melewati masa kritis, bisa survive dan eksis, siklus organisasi berlanjut ketingkat berikutnya yaitu tumbuh dan menjadi besar (growth stage). Pertumbuhan organisasi ini pada titik tertentu akan berhenti (stagnant karena mengalami kejenuhan (maturity stagnant). Jika situasi kejenuhan ini bisa diatasi maka organisasi akan bangkit kembali (revival stage). Namun sebaliknya jika situasi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin siklus akan berlanjut ke tahap penurunan (declining stage) dan boleh jadi sampai ke tahap kematian (death).

2. Siklus Hidup Organisasi dan Perubahan Budaya Organisasi

Merubah budaya organisasi bukan perkara mudah, karena sekali budaya sudah terkristalisasi ke dalam masing-masing anggota organisasi dan tersistem dalam kehidupan organisasi, maka para anggota organisasi akan cenderung mempertahankannya tanpa memperhatikan apakah budaya organisasi tersebut functional atau dysfunctional terhadap kehidupan organisasi. Dengan kata lain perubahan budaya hampir selalu berhadapan dengan resistensi para karyawan, sehingga perubahan budaya seringkali berjalan secara gradual dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Perubahan budaya umumnya diawali dengan adanya krisis organisasi (vicious cyrcle) yakni ketika organisasi berusaha mengatasi situasi kritis baik yang berasal dari dalam organisasi maupun dari luar lingkungan organisasi. Namun demikian tidak berarti bahwa pada tahap pertumbuhan tidak dimungkinkan adanya perubahan budaya organisasi. Hal ini berarti bahwa pada setiap tahap organisasi dimungkinkan adanya perubahan budaya, hanya yang membedakan adalah tujuan dari perubahan tersebut.

a. Mekanisme perubahan pada tahap berdiri dan pertumbuhan

Pada tahap ini organisasi belum begitu kompleks dan peran pendiri dan atau keluarganya sangat dominant, sehingga budaya organisasi merupakan cerminan nilainilai dan pandangan para pendiri dan para pekerja yang datang belakangan hanya sekedar mengikuti, mempelajari dan mengikuti saja seolah-olah tidak mempunyai peran dalam membangun budaya organisasi. Bagi para pendiri budaya organisasi lebih berfungsi sebagai alat untuk mengintegrasikan pekerja dengan organisasi, alat perekat diantara anggota organisasi dan alat untuk membangun komitmen dalam rangka menunjukkan identitas diri organisasi sehingga jika ada perubahan budaya organisasi lebih disebabkan karena adanya tuntutan internal dan agar terjadinya kohesivitas atau integrasi internal yang semakin kokoh.

Ada 4 (empat) mekanisme perubahan yang bisa digunakan yaitu :
1. Perubahan evolutif yang bersifat natural; Perubahan budaya yang bersifat natural tanpa adanya rekayasa perencanaan sebelumnya dan lebih berorientasi internal dalam kerangka memperkokoh nilai-nilai yang sudah ada.
2. Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi (self guided) dengan menggunakan terapi organisasi; Perubahan budaya karena adanya kesadaran akan pentingnya memantau terus kondisi internal organisasi, melakukan penilaian dan evaluasi sehingga mengetahui kelemahan dan kelebihan organisasi. Perubahan ini terkadang membutuhkan keterlibatan orang luar dengan tujuan memberikan jaminan secara psikologis kepada orang-orang dalam organisasi bahwa perubahan tidak perlu ditakutkan.
3. Perubahan evolutif dengan hybrids; Perubahan budaya dengan membiarkan budaya lama tetap eksis namun pada saat yang bersamaan mulai diperkenalkan budaya baru sampai pada saatnya nanti budaya baru benar-benar bisa menggantikan budaya yang lama. Untuk perubahan ini diperlukan bantuan orang dalam yang sudah lama bergabung dengan perusahan, sehingga keberadaannya dapat diterima semua pihak.
4. Perubahan revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar organisas; Perubahan ini bisa dikatakan revolusioner karena perubahanya melibatkan orang luar meski perubahannya masih dalam batas kendali organisasi (para pendiri).

b. Mekanisme perubahan pada tahap perkembangan

Pada tahap ini tujuan perubahan budaya adalah untuk melakukan adaptasi eksternal yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Adapun mekanisme yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Perubahan terencana dan pengembangan organisasi (Planned change and organizational development); Perubahan yang dilakukan secara terencana untuk menselaraskan budaya dengan perkeambangan organisasi di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan perkembangan organisasi tidak sesuai lagi dengan budaya organisasi yang ada.
2. Perubahan budaya dengan memperkenalkan teknologi baru (technological seduction); Perubahan budaya dikarenakan adanya perubahan penggunaan teknologi baru. Perubahan teknologi akan mendorong perubahan perilaku yang merupakan hasil adopsi nilai, keyakinan dan asumsi baru dalam menjalankan aktifitas perusahaan.
3. Perubahan budaya dengan memaparkan sisi negative dari mitos yang selama ini berkembang di dalam organisasi; Perubahan dilakukan dengan mengembangkan asumsi atau mitos lain yang lebih relevan dalam menjalankan aktifitas perusahaan.
4. Perubahan sedikit demi sedikit tetapi konsisten (Incrementalism); Perubahan dilakukan dengan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada dalam upayanya untuk mempengaruhi semua pihak yang terlibat dalam perusahan sehingga tujuan akhir tercapai.

c. Mekanisme perubahan pada tahap penurunan

Penurunan biasanya diawali dengan adanya krisis organisasi yang disebabkan perubahan internal dan eksternal organisasi. Pada situasi seperti ini biasanya perubahan dilakukan secara structural atau radikal dengan 2 (dua) opsi yang berkembang yaitu transformasi dan destruksi. Adapun mekanisme perubahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perubahan yang bersifat persuasi dengan sedikit ancaman (coercive persuasion); Perubahan dengan memaksa orang membuka pbikirannya agar bisa memotivasi dirinya untuk mencari informasi baru sehingga ia bisa mendefinisikan ulang kedudukan dirinya dan menentukan apa yang dilakukannya.
2. Perubahan budaya melalui strategi penyehatan organisasi (turnaround); Perubahan ini biasanya dilakukan dengan mulai memperkenalkan budaya baru dengan cara meng-edukasi dan coaching para anggota organisasi, merubah struktur dan proses organisasi, memberi perhatian dan penghargaan, menciptakan slogan disamping memberikan sedikit ancaman bagi mereka yang tidak mau berubah.
3. Perubahan budaya melalui reorganisasi dan melahirkan kembali organisasi baru (reorganization and rebirth); Perubahan ini dimulai dengan pembubaran organisasi kemudian membentuk organisasi yang baru baik secara simbolik yaitu dengan cara menata ulang visi, misi dan tujuan jangka panjang serta pergantian kepemimpinan. Sedangkan secara riil berupa berbentuk akuisisi dan merger bahkan joint venture (aliansi strategis).

D. Strategi Generik Perubahan Budaya

Secara umum Paul Bate menawarkan 4 (empat) pendekatan perubahan budaya yaitu :
a. Pendekatan agresif (Aggressive approach); Perubahan budaya dengan menggunakan pendekatan kekuasaan, non-kolaboratif, membuat konflik, sifatnya dipaksakan, sifatnya win-lose, unilateral dan menggunakan dekrit. Menurut Schein disebut pendekatan structural karena mencabut akar-akar budaya yang ada.
b. Pendekatan jalan damai (Conciliative approach); Perubahan budaya dilakukan secara kolaboratif, dipecahkan bersama, win-win, integratif dan memperkenalkan budaya yang baru terlebih dahulu sebelum mengganti budaya yang lama
c. Pendekatan korosif (Corrosive approach; Perubahan budaya yang dilaukan dengan pendekatan informal, evolutif, tidak terencana, politis, koalisi dan mengandalkan networking. Budaya lama sedikit demi sedikit dirusak dan diganti dengan budaya baru
d. Pendekatan indoktrinasi (Indoctrinative approachI); Pendekatan yang bersifat normatif dengan menggunakan program pelatihan dan pendidikan ulang terhadap pemahaman budaya yang baru.
Berdasarkan pendekatan tersebut diatas, maka Paul Bate menyampaikan ada 5 (lima) tahap perubahan budaya yaitu :
1. Deformative (Tahap gagasan perubahan) yaitu perubahan budaya belum benar-benar terjadi, baru sebatas gagasan yang menegaskan bahwa perubahan budaya perlu dilakukan. Pada tahap ini biasanya terjadi shock therapy dan mendramatisir pemaparan perlunya perubahan budaya
2. Reconsiliative (Tahap dukungan gagasan perubahan) yaitu Adanya dukungan berbagai pihak terhadap gagasan perubahan budaya. Pada tahap ini terjadinya negosiasi terhadap pelaku budaya baik dari pihak inisiator atau pendorong perubahan maupun pihak yang tidak setuju perubahan budaya
3. Acculturative (Tahap komunikasi dan komitmen) yaitu terjadinya komunikasi yang intensif terhadap kesepakatan yang diperloleh pada tahap sebelumnya untuk menciptakan komitmen. Pada tahap ini perlu dilakukan proses sosialisasi dan edukasi untuk membantu penetrasi perubahan budaya
4. Enactive (Tahap pelaksanaan perubahan) yaitu pelaksanaan hasil pemikiran, pembahasan dan diskusi tentang budaya baru. Pelaksanaan ini terdapat 2 (dua) bentu yaitu personal enactment (masing-masing individu melakukan tindakan yang memungkinkan budaya menjadi bagian dari kehidupan mereka) dan collective enactment (para pelaku budaya secara bersama-sama memecahkan persoalan cultural yang selama ini masih menggantung) 5. Formative (Tahap pembentukan struktur dan bentuk budaya) yaitu saat membentuk dan mendesain struktur budaya sehingga budaya yang dulunya invisible menjadi visible bagi semua anggaota organisasi.
Dalam melaksanakan perubahan budaya perlu memperhatikan beberapa dimensi perubahan antara lain :
a. Dimensi struktural (budaya yang akan dirubah); Tujuannya bukan hanya sekedar mengetahui budaya yang ada tetapi juga agar pelaku perubahan bisa belajar tentang pola pikir irganisasi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya
b. Dimensi ruang dan waktu (asal muasal terbentuknya budaya dan perjalanannya sepanjang waktu); Tujuannya agar dalam perubahan budaya tidak terjadi kesalahan yang sama di masa datang
c. Dimensi proses perubahan (posisi budaya dalam siklus kehidupan budaya)
d. Dimensi konstekstual (situasi lingkungan di mana budaya berada)
e. Dimensi subyektif (tujaun dan keterlibatan orang per orang dalam perubahan) Disamping itu untuk menilai efektifitas perubahan budaya Paul Bate juga menentukan parameternya antara lain :
1. Daya ekspresi yaitu kemampuan untuk menyampaikan ide-ide baru
2. Daya komonolitas yaitu kemampuan untuk membentuk satu set nilai
3. Daya penetrasi yaitu kemampuan untuk menembus berbagai level organisasi
4. Daya adaptif yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah
5. Daya tahan yaitu kemampuan untuk menciptakan perubahan yang hasilnya bisa tahan lama.

E. Resistensi Terhadap Perubahan Budaya

Meski sebagai manusia kita sadar bahwa perubahan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, namun ketika perubahan itu menimpa diri kita belum tentu kita mau menerimanya dengan sukarela. Ada beberapa bentuk resistensi (perlawanan) terhadap perubahan budaya yaitu :
a. Culture of denial (Pengingkaran); Munculnya persepsi tentang pengingkaran komitmen perusahan kepada karyawan untuk tetap mempertahankan lingkungan kerja yang kondusif
b. Culture of fear (Ketakuatan); Munculnya kekhawatiran, stres, depresi dan takut terhadap dampak perubahan yang akan terjadi
c. Culture of cynism (Sinisme); Munculnya persepsi bahwa perubahan budaya hanya rekayasa sebagian orang dan tidak sungguh-sungguh serta hanya untuk kepentingan sebagian pihak saja
d. Culture of self-interest (Mementingkan diri sendiri); Munculnya sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri dengan mencari peluang di luar perusahaan.
e. Culture of distrust (Ketidakpercayaan); Munculnya perasaan saling curiga terhadap sesama mitra kerja (horizontal) dan kepada eksektufi (vertical) f. Culture of anomie (Ketidakstabilan social); Munculnya perubahan sosial akibat perubahan gaya kepemimpinan, sikap, pola pikir dan perilaku yang lama.
Disamping bentuk-bentuk resistensi tersebut diatas, perubahan budaya juga dapat menimbulkan munculnya sub budaya yang terselubung (The rise of underground subculture). Hal ini disebabkan ada sebagian orang yang setengah hati menerima budaya baru, sehingga tidak jarang mereka mengadopsi budaya baru sambil tetap mengidentifikasikan dirinya dengan simbol, nilai dan ritual budaya lama.

F. Bentuk-bentuk reaksi karyawan terhadap perubahan budaya organisasi

Meskipun dalam perubahan budaya terdapat perlawanan (resistance) yang merupakan bentuk negatif dari perubahan, tetapi tidak jarang juga ada reaksi positif dalam perubahan budaya. Bentuk-bentuk reaksi tersebut antara lain :
a. Active acceptance yaitu karyawan menerima apa adanya perubahan budaya
b. Selective reinvention yaitu karyawan mencoba mendaur ulang beberapa elemen budaya lama seolah-olah menjadi budaya baru
c. Reinvention yaitu secara umum karyawan enggan melakukan perubahan
d. General acceptance yaitu karyawan mau menerima perubahan meski tidak sepenuhnya. Ada beberapa yang ditolal dengan asumsi budaya lama lebih cocok
e. Dissonance yaitu karyawan mengalami keraguan antara menerima dan menolak perubahan
f. General rejection yaitu secara umum karyawan menolak perubahan meski perubahan masih diterima dengan alasan budaya lama tidak lagi kondusif
g. Reinterpretation yaitu secara umum karyawan mencoba menginterpretasikan
perubahan dan menyesuaikan diri
h. Selective reinterpretation yaitu karyawan menginterpretasikan kembali beberapa komponen budaya dan menolak sebagian yang lain
i. Active rejection yaitu karyawan serta merta menolak perubahan budaya.









BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa Budaya organisasi berpengaruh terhadap Motivasi dan Kepuasan kerja serta Kinerja pada karyawan industri pengolahan kayu skala menengah di Jawa Timur dapat diterima. Keempat variabel tersebut merupakan faktor-faktor dalam perilaku organisasi yang harus mendapatkan perhatian khusus bagi semua pihak yang terkait dengan proses produksi. Penelitian ini dapat memberikan informasi pada manajemen dalam mengelola Sumber daya manusia, artinya bahwa mengelola Sumber daya manusia tidak terlepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Pada prinsipnya tujuan mengelola Sumber daya manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama antara perusahaan dan semua karyawan yang terlibat dengan aktivitas perusahaan. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada perusahaan yang sejenis tetapi berskala besar dengan tujuan untuk mengetahui apakah Budaya organisasi berpengaruh terhadap Motivasi dan Kepuasan kerja serta Kinerja karyawan berlaku pula bagi perusahaan yang berskala besar. Hal ini perlu dilakukan karena kemungkinan yang terjadi adalah adanya perbedaan pengaruh motivasi terhadap Kepuasan kerja karyawan antara perusahaan skala menegah dan besar, disamping itu apakah ada perbedaan kepuasan kerja dan kinerja antara perusahaan skala menengah dan besar.

B. REKOMENDASI

Organisasi yang bertujuan laba dan nonlaba memerlukan suatu visi dan misi yang jelas. Untuk mencapai tujuan pasti membutuhkan proses atau rangkaian kegiatan disitulah salah satu peranan yang baik adalah memahami perilaku lingkungan, individu dan organisasi. Maka kedepan organisasi itu baik harus ada motivasi yang jelas oleh semua orang yang berkepentingan.
















DAFTAR ISI


Kartono, Kartini, 1994, Psikologi Sosial untuk Manajemen, Perusahaan dan industri, Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada.
Mangkunegara, AA Anwar Prabu, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung PT.Remaja Rosdakarya.
Robbins, Stephen P., 1996 Perilaku Organisasi, Konsep-Kontroversi-Aplikaso, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, PT.Prenhalindo.
Luthans, Fred, 1992, Organizational Behavior, Sixth Edition, Singapore: McGraw Hill Book Co.

Kamis, 30 Desember 2010

KEPEMIMPINAN MASA LALU, SEKARANG DAN MASA DEPAN

KEPEMIMPINAN MASA LALU, SEKARANG DAN MASA DEPAN

Selama bertahun-tahun, kepemimpinan telah dipelajari secara ekstensif dalam berbagai konteks dan dasar teoritis. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan telah digambarkan sebagai sebuah proses, namun sebagian besar teori dan penelitian tentang melihat kepemimpinan pada seseorang untuk mendapatkan pemahaman (Bernard, 1926, Blake, Shepard dan Mouton, 1964; Drath dan Palus, 1994; Fiedler, 1967; dan Rumah dan Mitchell, 1974). Kepemimpinan biasanya ditentukan oleh sifat, kualitas, dan perilaku pemimpin. Studi kepemimpinan telah berlangsung di seluruh budaya, beberapa dekade, dan keyakinan teoritis. Sebuah ringkasan tentang apa yang diketahui dan dipahami tentang kepemimpinan adalah penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang kepemimpinan tim.
Sejarah teori kepemimpinan dan penelitian. Dalam sebuah tinjauan komprehensif teori kepemimpinan (Stogdill, 1974), beberapa kategori yang berbeda telah diidentifikasi yang menangkap esensi studi kepemimpinan dalam abad kedua puluh. Kecenderungan pertama berurusan dengan atribut pemimpin besar. Kepemimpinan dijelaskan oleh kualitas internal dengan mana seseorang dilahirkan (Bernard, 1926). Pikiran adalah bahwa jika ciri-ciri bahwa pemimpin dibedakan dari pengikut bisa diidentifikasi, pemimpin yang sukses bisa segera dinilai dan dimasukkan ke dalam posisi kepemimpinan. Kepribadian, fisik, dan karakteristik mental diperiksa. Penelitian ini didasarkan pada gagasan bahwa pemimpin dilahirkan, tidak dibuat, dan merupakan kunci keberhasilan itu hanya dalam mengidentifikasi orang-orang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin besar. Meskipun banyak penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi sifat, tidak ada jawaban yang jelas ditemukan berkaitan dengan apa sifat-sifat konsisten dikaitkan dengan kepemimpinan yang besar. Satu cacat dengan garis pemikiran ini dalam mengabaikan faktor situasional dan lingkungan yang berperan dalam tingkat pemimpin efektivitas.
Sebuah dorong besar kedua melihat perilaku pemimpin dalam upaya untuk menentukan apa pemimpin yang sukses dilakukan, bukan bagaimana mereka melihat ke orang lain (Halpin dan Winer, 1957; Hemphill dan Coons, 1957). Studi-studi ini mulai melihat pemimpin dalam konteks organisasi, mengidentifikasi pemimpin menunjukkan perilaku yang meningkatkan efektivitas perusahaan. The Michigan dan Ohio terkenal dan didokumentasikan Negara studi kepemimpinan mengambil pendekatan ini. Dua primer, faktor independen yang diidentifikasi oleh studi ini: pertimbangan dan inisiasi struktur. Penelitian secara bersamaan sedang dilakukan di universitas-universitas lain dan hasil yang sama ditemukan. Dampak dari penelitian ini adalah sebagian gagasan bahwa kepemimpinan belum tentu merupakan sifat bawaan, tetapi metode kepemimpinan bukannya efektif dapat diajarkan kepada karyawan (Saal dan Knight, 1988). Para peneliti telah membuat kemajuan dalam mengidentifikasi apa perilaku para pemimpin dibedakan dari pengikut sehingga perilaku bisa diajarkan. Dampak lain dari pekerjaan ini ditangani dengan memperluas fokus manajemen untuk mencakup kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada orang bersama dengan kegiatan tugas-oriented.
Melanjutkan pekerjaan ini, Blake, Shepard, dan Mouton (1964) juga mengembangkan model dua faktor perilaku kepemimpinan yang mirip dengan yang ditemukan di Ohio State dan Michigan. Mereka disebut faktor "kepedulian terhadap orang" dan Mereka kemudian menambahkan variabel ketiga "keprihatinan untuk output.", Yaitu fleksibilitas. Menurut studi tersebut, manajer perilaku menunjukkan bahwa jatuh ke dalam dua kategori utama (tugas atau orang). Tergantung pada kategori mana ditunjukkan paling sering, seorang pemimpin bisa ditempatkan di sepanjang masing-masing dari dua kontinum. Hasil dari penelitian ini adalah terutama deskriptif dan membantu para pemimpin mengkategorikan berdasarkan perilaku mereka.
Pendekatan ketiga untuk menjawab pertanyaan tentang cara terbaik untuk memimpin ditangani dengan interaksi antara pemimpin, sifat AOS, pemimpin, AOS perilaku, dan situasi di mana pemimpin ada. Teori-teori kontingensi membuat asumsi bahwa efek dari satu variabel pada kepemimpinan bergantung pada variabel lainnya. Konsep ini wawasan yang besar pada waktu itu, karena membuka pintu bagi kemungkinan bahwa kepemimpinan dapat berbeda dalam setiap situasi (Saal dan Knight, 1988). Dengan ide ini pandangan yang lebih realistis kepemimpinan muncul, memungkinkan untuk kompleksitas dan kekhususan situasional efektivitas keseluruhan. kontinjensi yang berbeda Beberapa diidentifikasi dan dipelajari, tetapi tidak realistis untuk menganggap bahwa setiap teori yang satu lebih atau kurang valid atau berguna daripada yang lain.
Satu teori tersebut dianggap dua variabel dalam menentukan efektivitas pemimpin: gaya kepemimpinan dan sejauh mana pemimpin, situasi AOS yang menguntungkan untuk pengaruh (Fiedler, 1967). Fiedler, AOS konsep favourability situasional, atau kemudahan pengikut mempengaruhi, didefinisikan sebagai kombinasi dari hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuasaan posisi. Ukuran masing-masing sebagai tinggi atau rendah, Fiedler datang dengan delapan mengelompokkan favourability situasional. Dia kemudian mengembangkan kuesioner untuk mengukur gaya pemimpin, yang disebut skala Least Preferred Co-pekerja. Melalui penelitian, ia menemukan bahwa gaya kepemimpinan tertentu lebih efektif dalam situasi tertentu. Meskipun secara umum teori ini adalah dipertanyakan berlaku karena relatif sederhana, ia memulai diskusi dan penelitian tentang pencocokan seorang pemimpin dengan situasi yang paling kondusif untuk itu pemimpin, AOS gaya.
Namun lain teori kontingensi berkaitan dengan analisis orang-orang yang dipimpin oleh para pemimpin. Pentingnya pengikut kepemimpinan muncul (Rumah dan Mitchell, 1974), dan kepemimpinan dipandang sebagai interaksi antara tujuan para pengikut dan pemimpin. Teori jalur-tujuan menunjukkan bahwa para pemimpin terutama bertanggung jawab untuk membantu pengikut mengembangkan perilaku yang akan memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan. Variabel yang mempengaruhi perilaku pemimpin yang paling efektif termasuk sifat tugas (apakah itu secara intrinsik atau ekstrinsik memuaskan), otonomi tingkat pengikut, dan motivasi pengikut. Pandangan agak terbatas kepemimpinan ini dikembangkan oleh Vroom dan Yetton (1973). Teori Vroom-Yetton menggambarkan apa yang harus dilakukan para pemimpin diberikan keadaan tertentu sehubungan dengan tingkat keterlibatan pengikut dalam pengambilan keputusan. Setelah pohon keputusan yang menanyakan tentang perlunya partisipasi, kesimpulan dapat ditarik tentang bagaimana pemimpin harus bisa membuat keputusan untuk menjadi yang paling efektif.
teori kepemimpinan lain yang muncul dari pekerjaan ini, termasuk teori hubungan vertikal angka dua, juga dikenal sebagai teori pertukaran pemimpin-anggota (Graen, 1976). Teori ini menjelaskan sifat hubungan antara pemimpin dan pengikut dan bagaimana hubungan ini dampak proses kepemimpinan. Graen karyawan dikategorikan menjadi dua kelompok: kelompok-dalam dan kelompok-out. Hubungan antara pemimpin dan masing-masing kelompok berbeda, sehingga mempengaruhi jenis pekerjaan anggota masing-masing kelompok diberikan. Penelitian telah umumnya didukung teori ini, dan nilai yang berkaitan dengan penyelidikan pengikut masing-masing, hubungan AOS dengan pemimpin yang bertentangan dengan gaya kepemimpinan umum atau rata-rata.
Tubuh yang luas dan beragam pekerjaan pada kepemimpinan, oleh karena itu, menunjukkan bahwa ada banyak cara yang tepat untuk memimpin atau gaya kepemimpinan. teori kontingensi berbeda dari dan membangun teori-teori sifat dan perilaku, sebagai filosofi bahwa salah satu cara terbaik untuk memimpin berevolusi menjadi sebuah analisis kompleks pemimpin dan situasi. Untuk keberhasilan yang optimal, baik gaya pemimpin dan situasi dapat dievaluasi, bersama dengan karakteristik dari pengikut. Kemudian, baik pemimpin dapat ditunjuk untuk situasi yang sesuai yang diberikan / nya gayanya kepemimpinan, pemimpin dapat menunjukkan perilaku yang berbeda, atau situasi dapat diubah untuk paling cocok dengan pemimpin.
Sebagai penelitian kepemimpinan telah tumbuh dan berkembang, pandangan yang lebih luas pada kepemimpinan telah muncul: fokus pada budaya organisasi (Schein, 1985). Bagi para pemimpin yang efektif, menurut pandangan ini, isu yang berkaitan dengan budaya harus diidentifikasi secara jelas. Sebagai contoh, salah satu aspek kebudayaan adalah perubahan. Pemimpin harus mampu beradaptasi dengan perubahan, tergantung pada budaya, serta lingkungan bergeser dan berkembang. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa organisasi yang telah mencoba untuk menolak perubahan dalam lingkungan eksternal mengalami kesulitan lebih dari organisasi yang telah merespon positif terhadap perubahan (Baron, 1995).
Sebagai contoh yang berbeda tentang pentingnya budaya, manajemen budaya merupakan aspek penting dari kepemimpinan. Budaya manajemen berkaitan dengan kemampuan pemimpin untuk mengetahui dan memahami apa budaya organisasi, mengubah budaya yang untuk memenuhi kebutuhan organisasi karena kemajuan. Baron (1995) menemukan dalam penelitiannya bahwa organisasi yang telah mencoba untuk secara proaktif memanfaatkan peluang-peluang baru dalam lingkungan mengalami perubahan budaya yang sukses. Selain itu, Baron menemukan bahwa munculnya manajer profesional selama beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa manajemen meningkat dan berbeda dan kemampuan kepemimpinan yang tinggi pada agenda untuk manajemen budaya yang efektif. Dengan kata lain, keterampilan tambahan diperlukan dalam pemimpin saat ini sehingga mereka akan dapat mengelola budaya organisasi. Bagian dari perubahan budaya yang ditemukan dalam penelitian ini terdiri dari drive untuk fleksibilitas yang lebih besar dan pengembangan pemberdayaan karyawan dan otonomi. Pemimpin juga terlibat dalam mengelola budaya dengan mendirikan arah strategis eksplisit, berkomunikasi arah itu, dan menentukan visi organisasi dan nilai-nilai. Baris ini penelitian, bagaimanapun, belum mengidentifikasi model untuk gaya kepemimpinan yang berbeda diberikan faktor budaya yang berbeda. Penerapan ide-ide ini sulit, sebagian karena kekhususan organisasi budaya dan kesulitan dalam mendefinisikan budaya. Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pemimpin harus bekerja di dalam budaya yang akan paling sukses.
Kepemimpinan dan penelitian kepemimpinan motivation.The dan teori review di atas sangat tergantung pada studi tentang motivasi, menunjukkan kepemimpinan yang kurang satu set spesifik perilaku daripada menciptakan suatu lingkungan di mana orang-orang termotivasi untuk memproduksi dan bergerak ke arah pemimpin . Dengan kata lain, para pemimpin mungkin perlu menyibukkan diri kalah dengan perilaku yang sebenarnya mereka menunjukkan dan menghadiri lebih banyak situasi di mana pekerjaan dilakukan. Dengan menciptakan lingkungan yang tepat, di mana orang ingin terlibat dan merasa berkomitmen untuk pekerjaan mereka, para pemimpin mampu mempengaruhi dan mengarahkan kegiatan orang lain. Perspektif ini memerlukan penekanan pada orang yang dipimpin sebagai lawan pemimpin. Sebuah tinjauan dari beberapa teori utama motivasi dapat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana seorang pemimpin dapat membuat lingkungan seperti itu.
Sebuah teori motivasi yang terkenal adalah bahwa Herzberg (1964). Melalui penelitiannya, Herzberg dibedakan antara unsur-unsur di tempat kerja yang menuju kepuasan karyawan dan elemen yang menyebabkan ketidakpuasan karyawan, sehingga kepuasan dan ketidakpuasan yang dianggap sebagai dua kontinum yang berbeda daripada dua ujung kontinum yang sama. Elemen-elemen yang menyebabkan kepuasan dapat dianggap sebagai motivator, karena karyawan termotivasi untuk mencapainya. Rangkaian lain dari unsur Herzberg berlabel faktor kebersihan, karena mereka diperlukan untuk menjaga karyawan dari yang tidak puas. Hubungan ini teori kepemimpinan, karena pemimpin mungkin tertarik dalam mengurangi ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan untuk mengembangkan lingkungan yang lebih kondusif untuk kepuasan karyawan dan mungkin kinerja.
teori motivasi lain yang juga berlaku untuk kepemimpinan dalam hal menawarkan argumen untuk apa para pemimpin perlu Anda lakukan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Sebagai contoh, teori perlu menunjukkan bahwa orang memiliki kebutuhan untuk hasil tertentu atau hasil, dan mereka didorong untuk berperilaku dalam cara yang akan memenuhi kebutuhan ini (Alderfer, 1969; Maslow, 1943, Murray, 1938). Maslow mengusulkan suatu hirarki kebutuhan dimana kebutuhan tertentu yang lebih mendasar dari yang lain dan orang-orang termotivasi untuk memuaskan mereka (untuk kebutuhan misalnya, fisiologis dan keamanan), sebelum mereka akan merasakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan tingkat tinggi (belongingness, harga, dan diri -aktualisasi). Alderfer (1969) dibangun di atas pekerjaan ini, menyarankan bahwa mungkin ada hanya tiga kebutuhan (kebutuhan eksistensi, kebutuhan keterkaitan, dan kebutuhan pertumbuhan) dalam hierarki konkrit. Dia berteori bahwa orang bisa bergerak naik dan turun hirarki, dan orang mungkin didorong oleh beberapa kebutuhan pada satu waktu. Teori lain yang terkait (1938) manifest Murray kebutuhan teori. Teori ini menunjukkan bahwa orang mengalami berbagai kebutuhan (misalnya, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi), dan semua orang tidak mungkin mengalami kebutuhan yang sama. Kondisi lingkungan yang sesuai mengaktifkan kebutuhan tertentu. Berkaitan ini untuk kepemimpinan, bekerja biasanya memenuhi beberapa kebutuhan, dan pertanyaannya adalah apakah para pemimpin dapat mengembangkan lingkungan yang membantu memenuhi kebutuhan masyarakat lebih maju atau langsung.
teori motivasi tambahan termasuk teori harapan, teori keadilan, penetapan tujuan, dan penguatan. Masing-masing memiliki implikasi bagi para pemimpin pendekatan yang dibutuhkan untuk berurusan dengan pengikut mereka. Harapan teori mengusulkan bahwa orang-orang terlibat dalam perilaku yang khas berdasarkan probabilitas bahwa perilaku tersebut akan diikuti dengan hasil tertentu dan nilai dari hasil (Vroom, 1964). Sebagai pemimpin memahami apa yang nilai orang, mereka dapat berdampak tindakan masyarakat dengan mendefinisikan apa perilaku akan menghasilkan hasil yang diinginkan. Ekuitas teori menunjukkan bahwa orang-orang termotivasi untuk menyeimbangkan masukan mereka / rasio output dengan input orang lain '/ rasio output (Adams, 1965). Hal ini menunjukkan keseimbangan berdasarkan persepsi masing-masing yang mungkin atau mungkin tidak secara akurat merepresentasikan realitas. Teori Penentuan tujuan mengambil pendekatan yang agak berbeda, menunjukkan bahwa orang yang termotivasi untuk mencapai tujuan, dan niat mereka drive perilaku mereka (Locke, 1968). Kinerja tujuan, oleh karena itu, baik yang ditetapkan oleh para pemimpin atau individu itu sendiri berkontribusi untuk menentukan perilaku apa yang akan dipamerkan. Akhirnya, teori penguatan berasal dari sudut pandang behavioris dan menyatakan bahwa perilaku dikendalikan oleh konsekuensinya (Skinner, 1959). Pemimpin tentunya dalam posisi untuk memberikan konsekuensi baik positif atau negatif terhadap pengikut, dan teori penguatan telah memiliki dampak yang signifikan pada pengembangan gaya kepemimpinan yang efektif.
Motivasi adalah tidak dilihat sebagai satu-satunya elemen yang terlibat dalam memunculkan perilaku tertentu dari pengikut atau karyawan, pengetahuan dan kemampuan tentu berperan juga. Namun, teori motivasi menambah tubuh bekerja kepemimpinan karena penekanan pada para pengikut mereka sendiri dan apa yang menyebabkan mereka bertindak, bukannya berfokus pada para pemimpin dan sifat-sifat mereka, perilaku, atau situasi. Kepemimpinan, maka, tidak hanya proses dan aktivitas orang yang berada dalam posisi kepemimpinan, tetapi juga mencakup lingkungan pemimpin ini menciptakan dan bagaimana pemimpin ini merespon lingkungan, serta keterampilan tertentu dan kegiatan orang-orang yang dipimpin.
Recent kepemimpinan theories.Using sebagai pendukung teori-teori motivasi, teori-teori kepemimpinan tambahan telah muncul selama sepuluh sampai lima belas tahun. Hal ini diwakili oleh perbandingan kepemimpinan transaksional versus transformasional, misalnya. Kepemimpinan transaksional berasal dari pandangan yang lebih tradisional pekerja dan organisasi, dan ini melibatkan kekuatan posisi pemimpin untuk menggunakan pengikutnya untuk penyelesaian tugas (Burns, 1978). kepemimpinan Transformasional, bagaimanapun, mencari cara untuk membantu memotivasi pengikutnya dengan memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi-order dan lebih lengkap melibatkan mereka dalam proses kerja (Bass, 1985). pemimpin transformasional dapat memulai dan mengatasi perubahan, dan mereka dapat menciptakan sesuatu yang baru yang lama. Dengan cara ini, para pemimpin secara pribadi berevolusi sementara juga membantu pengikut mereka dan organisasi berkembang. Mereka membangun hubungan yang kuat dengan orang lain sementara mendukung dan mendorong pengembangan masing-masing individu.
Definisi yang lebih baru kepemimpinan dari Gardner (1990, hal 38) berpendapat bahwa "kepemimpinan adalah pemenuhan tujuan kelompok, yang ditindaklanjuti tidak hanya oleh pemimpin yang efektif tetapi juga oleh inovator, pengusaha, dan pemikir; oleh ketersediaan sumber daya; dengan pertanyaan nilai dan kohesi sosial. "Dengan definisi ini, maka, kepemimpinan dapat dianggap sebagai fenomena yang lebih luas. Gardner mulai menantang gagasan bahwa kepemimpinan ada di dalam orang yang ditunjuk tunggal dan situasi. Sebaliknya, ia posisi kepemimpinan sebagai bergerak menuju dan mencapai tujuan kelompok, belum tentu karena pekerjaan satu orang terampil (yaitu pemimpin) tetapi karena pekerjaan beberapa anggota kelompok. Tidak hanya kepemimpinan membutuhkan seseorang yang membantu menentukan arah dan bergerak maju sementara kelompok yang berfungsi sebagai sumber daya, tetapi melibatkan kontribusi dari para pemikir besar lainnya dan pelaku, akses ke sumber daya yang tepat, dan komposisi sosial dari kelompok.
Manz dan Sims juga menawarkan perspektif, revisi integratif tentang kepemimpinan. Menggunakan "SuperLeadership," istilah mereka menantang paradigma tradisional kepemimpinan sebagai salah satu orang yang melakukan sesuatu untuk orang lain (Manz dan Sims, 1991). Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa model lain ada untuk kepemimpinan hari ini: "pemimpin yang paling tepat adalah salah satu yang dapat memimpin orang lain untuk memimpin dirinya sendiri" (hal. 18). Dengan pandangan ini, kepemimpinan ada di dalam setiap individu, dan tidak terbatas pada batas-batas ditunjuk pemimpin formal. Mereka berpendapat bahwa, bagi para pemimpin untuk menjadi yang paling sukses, mereka perlu untuk memfasilitasi setiap individu dalam proses memimpin dirinya sendiri. Pemimpin menjadi besar dengan melepaskan potensi dan kemampuan dari pengikut, sehingga memiliki pengetahuan banyak orang bukan hanya mengandalkan pada keterampilan dan kemampuan mereka sendiri.
Apakah ada profil, jelas tunggal yang ada bagi seorang pemimpin besar? Kemungkinan besar tidak ada. Berdasarkan teori ditinjau, tidak ada definisi yang konsisten dari pemimpin yang sukses atau satu pemahaman terbaik dari apa yang menyebabkan orang untuk bertindak seperti yang mereka lakukan di tempat kerja. Ini membantu menjelaskan mengapa kepemimpinan adalah salah satu fenomena yang paling banyak dipelajari (selain persepsi bahwa kepemimpinan merupakan topik penting), namun ada tampaknya tidak ada jawaban yang jelas. Jadi, mengapa orang terus belajar kepemimpinan? Karena ada sepertinya ada beberapa faktor yang membedakan yang dapat dinilai, dilatih, dan dikembangkan yang berkontribusi untuk membuat pemimpin yang hebat. Ada perbedaan antara individu dalam efektivitas kepemimpinan, dan peneliti berusaha untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memperkirakan perbedaan tersebut. Meskipun sulit untuk menentukan dan menangkap, keyakinan jelas berlaku bahwa intervensi akan membantu mengembangkan dan meningkatkan kepemimpinan dalam organisasi saat ini. Beberapa pekerjaan telah dilakukan untuk memahami apa yang membuat pemimpin yang baik sukses dengan maksud untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih baik dalam organisasi. kualitas tersebut akan diuraikan berikutnya.
Karakteristik dari leader.Given sukses volume pekerjaan ditulis pada kepemimpinan, beberapa hipotesis telah dibuat tentang apa yang membuat seorang pemimpin yang sukses. Misalnya, ukuran kepribadian telah terbukti berkorelasi dengan peringkat efektivitas kepemimpinan (Hogan, Curphy, dan Hogan, 1994). Secara khusus, para penulis ini menunjukkan bahwa model-lima besar struktur kepribadian yang biasa diterima menyediakan bahasa umum yang meliputi faktor kepribadian ditemukan berhubungan dengan kepemimpinan. Model-lima besar menyatakan bahwa kepribadian, seperti yang diamati oleh orang lain, dapat dijelaskan oleh lima dimensi yang luas (surgency, keramahan, hati nurani, kestabilan emosi, dan intelek). Dengan menggunakan terminologi umum, penelitian tentang kepemimpinan dapat diintegrasikan dengan lebih mudah. Stogdill (1974) dan Bentz (1990) menemukan korelasi yang signifikan antara beberapa ukuran efektivitas kepemimpinan (peringkat oleh orang lain, kemajuan, dan membayar) dan surgency, stabilitas emosional, teliti-an, dan keramahan. Temuan ini mungkin karena berbagai alasan, bagaimanapun, karena hubungan belum ditemukan causational. Garis ini penelitian dapat dikaitkan dengan teori sifat kepemimpinan, menunjukkan bahwa kualitas pribadi, seperti dimensi kepribadian, yang entah bagaimana berhubungan dengan efektivitas sebagai pemimpin. Walaupun hasil yang signifikan telah ditemukan, aplikasi dari penelitian ini untuk pengembangan kepemimpinan terbatas karena sifat yang relatif stabil kepribadian dalam diri seseorang dari waktu ke waktu.
bekerja empiris lain yang turut menentukan apa yang membuat seorang pemimpin yang berhasil adalah mengecewakan ramping, sebagian karena ukuran efektivitas sangat sulit untuk mengidentifikasi dan mengisolasi (Hogan, Curphy, dan Hogan, 1994). Beberapa atribut umum telah diidentifikasi dan disepakati pada tingkat tertentu, misalnya, Bennis (1989) menggambarkan pemimpin sebagai orang yang tahu apa yang mereka inginkan dan mengapa mereka menginginkannya, dan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi yang kepada orang lain dengan cara yang keuntungan mereka dukungan. Dalam tinjauan baru-baru ini oleh Lappas (1996, hal 14), dia menyatakan bahwa "fokus kepemimpinan mengetahui apa yang Anda inginkan dan ketika Anda ingin membedakan luar biasa dari para pemimpin rata-rata." Namun pendekatan lain melihat produktivitas para pengikut untuk mengukur efektivitas kepemimpinan (Fiedler, 1967; House, Spangler, dan Woycke, 1991). Produktivitas, bagaimanapun, telah secara konsisten sulit untuk digunakan sebagai variabel dalam penelitian lapangan karena banyak variabel yang dampaknya.
Meskipun tidak banyak penelitian yang ada tentang mengapa para pemimpin gagal, tampak bahwa keberhasilan kepemimpinan tergantung pada kombinasi dari kedua perilaku positif menunjukkan (seperti disebutkan di atas) dan juga tidak menunjukkan negatif atau menggelincirkan perilaku (Hogan, Curphy, dan Hogan, 1994). Beberapa perilaku negatif termasuk kesombongan, untrustworthiness, kemurungan, ketidakpekaan, compulsiveness, dan abrasivitas (Bentz, 1990). Ciri ini lebih sulit untuk dengan cepat mengidentifikasi dalam proses penilaian, karena mereka mungkin atau mungkin tidak ada di hadapan-lima sifat besar kepribadian. Tampaknya, bagaimanapun, bahwa jika mereka muncul, terlepas dari sejauh mana pemimpin menunjukkan perilaku kepemimpinan positif, pemimpin akan kurang efektif dan berpotensi akan gagal jika perilaku yang tidak diubah.
Mengingat penekanan berulang dan baru pada mengidentifikasi atribut dan perilaku yang terkait dengan kepemimpinan yang sukses (Lappas, 1996; Hogan, Curphy, dan Hogan, 1994; Wilson, George, dan Wellins, 1994), tampak bahwa sampai saat ini tujuan mendefinisikan kepemimpinan yang sukses belum memuaskan tercapai. Mungkin sudut yang berbeda dapat diambil yang akan menambah wawasan untuk mencari pemahaman tentang kepemimpinan.
Panggilan untuk model kepemimpinan change.Current telah dirancang untuk "pekerja khas Amerika": seorang pria putih dengan pendidikan sekolah menengah yang bekerja di bidang manufaktur (Hogan, Curphy, dan Hogan, 1994). Proyeksi berulang kali menyarankan, bagaimanapun, bahwa ini "biasa" pekerja dengan cepat berubah. Di masa depan, ekonomi akan terus bergeser lebih ke arah pelayanan dan jauh dari manufaktur, tenaga kerja akan menjadi lebih tua dan beragam etnis, dan persaingan untuk berpendidikan tinggi, orang berbakat akan meningkat. Menjaga orang juga merupakan tantangan yang berkembang, karena para pekerja saat ini adalah jauh berbeda dari mereka itu di masa lalu berkaitan dengan tuntutan mereka untuk menantang, pekerjaan yang berarti dan harapan untuk tanggung jawab lebih dan otonomi (Wilson, dkk, 1994.). Perusahaan mengalami perubahan hari ini, dan sifat pekerjaan secara signifikan berbeda dari itu adalah satu atau dua dekade lalu. Organisasi juga akan bergantung pada inovasi dan kreativitas yang lebih berat di masa depan daripada mereka sebelumnya (Wilson, dkk, 1994.).
Karena perubahan besar yang terjadi di tenaga kerja, sifat pekerjaan, dan struktur organisasi yang paling, penting untuk mengevaluasi kembali konsep kepemimpinan dalam konteks ini. Karakteristik bahwa pemimpin yang sukses membuat 15 atau 20 tahun yang lalu mungkin atau mungkin tidak karakteristik yang sama yang dibutuhkan saat ini. Sebagai contoh, sebuah ledakan telah terjadi dalam jumlah pengetahuan yang ada saat ini. Bahkan, "adalah salah satu perubahan terbesar di dunia bisnis kami transformasi ekonomi berbasis industri ke ekonomi berbasis informasi" (Wilson, dkk, 1994, hal 18.). Oleh karena itu, memanfaatkan bakat-bakat dan potensi intelektual karyawan semakin penting bagi keberhasilan organisasi (Wriston, 1990). Lain perubahan besar berkaitan dengan kebutuhan untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi. Tidak hanya dalam mengambil ide-ide ke pasar, tetapi juga dalam menanggapi secara cepat terhadap perubahan internal dan eksternal, organisasi dipaksa untuk bergerak lebih cepat (Batang dan Hout, 1990). Erat terkait, dorongan untuk perbaikan terus-menerus disebutkan sebelumnya membutuhkan pola pikir yang berbeda dan keterampilan ditetapkan untuk para pemimpin hari ini.
Sebagian besar pasti, ada beberapa, tambahan ketrampilan yang berbeda dan perilaku yang dibutuhkan saat ini, karena perubahan yang disebutkan di atas, seiring dengan meningkatnya gerakan menuju menciptakan lingkungan berbasis tim. Seperti yang diberikan oleh Lappas (1996, hal 15), "identifikasi dan definisi atribut dan perilaku yang terkait dengan kepemimpinan dalam sektor publik dan swasta sangat penting untuk keberhasilan bangsa ini." Sebelum penelitian dan teori tentang kepemimpinan, sementara itu memberikan fondasi yang kuat dan dasar untuk bekerja dari, tidak cukup untuk memahami apa yang membuat pemimpin yang sukses dalam lingkungan hari ini. Kepemimpinan telah terbukti menjadi daerah yang berubah dari waktu ke waktu sebagai organisasi dan perubahan individu, dan karena itu perlu terus dipelajari sehingga proses penilaian dan pelatihan yang sesuai untuk konteks kepemimpinan saat ini.
Kepemimpinan sebagai suatu proses. Teori terkini tentang kepemimpinan melihat kepemimpinan sebagai sebuah proses di mana para pemimpin tidak dilihat sebagai individu yang bertanggung jawab atas pengikut, tapi sebagai anggota komunitas praktik (Drath dan Palus, 1994). Sebuah komunitas praktek didefinisikan sebagai "orang bersatu dalam sebuah perusahaan umum yang memiliki sejarah dan dengan demikian nilai-nilai tertentu, keyakinan, cara berbicara, dan cara melakukan sesuatu" (hal. 4). Definisi ini dapat dianggap sebagai variasi dari budaya organisasi. Para penulis percaya bahwa sebagian besar teori-teori kepemimpinan dan penelitian telah didasarkan pada gagasan bahwa kepemimpinan melibatkan pemimpin dan sekelompok pengikut, dan dominasi, motivasi, dan pengaruh adalah kendaraan utama kepemimpinan. Sebagaimana dibahas di atas, ini telah menjadi fokus utama penelitian sampai saat ini. Membangun dan memodifikasi pandangan ini, Drath dan Palus (1994) mengusulkan suatu teori kepemimpinan sebagai suatu proses. Alih-alih berfokus pada pemimpin dan pengikutnya, mereka menyarankan mempelajari proses sosial yang terjadi dengan sekelompok orang yang terlibat dalam suatu kegiatan bersama. Dengan pandangan ini, kepemimpinan tidak begitu banyak didefinisikan sebagai karakteristik seorang pemimpin, tetapi kepemimpinan adalah proses mengkoordinasikan upaya dan bergerak bersama-sama sebagai sebuah kelompok. Kelompok ini mungkin termasuk seorang pemimpin, per se, tetapi dinamika secara dramatis berbeda dari teori kepemimpinan tradisional telah menyarankan. Orang, oleh karena itu, tidak perlu dimotivasi dan didominasi. Sebaliknya, semua orang yang terlibat dalam kegiatan ini diasumsikan untuk memainkan peran aktif dalam kepemimpinan.
Karya Manz dan Sims dibahas sebelumnya mendukung gagasan kepemimpinan sebagai suatu proses, karena mereka fokus pada kepemimpinan dalam diri setiap individu lebih dari perilaku dan tindakan orang pilih beberapa ditunjuk sebagai pemimpin formal dalam sebuah organisasi (Manz dan Sims, 1989). Bahkan, konseptualisasi kepemimpinan sebagai suatu proses di mana setiap orang berpartisipasi secara aktif mungkin merupakan puncak dari penelitian sampai saat ini. Sebagai teori berbalik arah melihat lingkungan para pemimpin (misalnya, Fiedler, 1967), hubungan antara pemimpin dan pengikut (Rumah dan Mitchell, 1974), dan bahkan budaya organisasi (Schein, 1985), peneliti telah mengakui sangat sifat yang kompleks, saling bergantung kepemimpinan. Teori-teori ini telah meletakkan dasar untuk memeriksa kepemimpinan sebagai suatu proses, dengan penekanan dari individu.
Dikombinasikan dengan teori ini, organisasi telah berubah dalam hal struktur dan organisasi. Sebagai lingkungan menjadi lebih kompetitif, lebih berorientasi pada layanan, dan lebih ambigu, perspektif yang lebih tua tentang organisasi terkemuka tidak sebagaimana mestinya. Sikap "bisnis seperti biasa" telah menyebabkan organisasi untuk bencana di banyak situasi (Wilson, dkk, 1994.). Sebaliknya, organisasi saat ini dihadapkan dengan perubahan yang terus berlanjut di teknologi, kondisi lingkungan, dan proses internal yang membutuhkan fleksibilitas, pembelajaran terus-menerus, dan pemanfaatan semua sumber daya yang tersedia. Seluruh karyawan, dari karyawan lini depan untuk CEO, sedang dipanggil lebih dan lebih untuk memberikan gagasan, membuat keputusan, dan menanggapi perubahan. Perubahan ini memerlukan perubahan sama drastis dalam bagaimana kepemimpinan organisasi dinilai, dilakukan, dan belajar.
Drath dan Palus (1994) dasar pandangan mereka agak revolusioner pada teori kepemimpinan tersebut, bersama dengan karya Bruner (1986) dan Kegan (1982). Melihat bagaimana orang memahami dunia, para penulis ini menunjukkan bahwa semua anggota suatu organisasi terus membangun pengetahuan dari diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Dalam membangun pandangan dunia, orang-orang bekerja sama dalam suatu organisasi perlu mengembangkan interpretasi sosial dipahami, sehingga mereka bisa efektif sebagai sebuah kelompok. Ini adalah fondasi dari mana orang menafsirkan, mengantisipasi, dan rencana. Dengan sifat definisi ini, kepemimpinan membutuhkan partisipasi dari semua orang sehingga semua anggota terlibat dalam menciptakan makna dan bertindak atas makna (Drath dan Palus, 1994).
Mungkin ini adalah cara yang paling tepat untuk melihat kepemimpinan dalam organisasi yang sebagian besar terdiri dari tim kerja. Dalam situasi ini, beberapa penulis telah mempertanyakan perlunya pemimpin dan bos karena manajemen dieliminasi dan tim telah mengambil tanggung jawab pengambilan keputusan yang signifikan (Bednarek, 1990; Dumaine, 1990). Meskipun kekhawatiran ini telah dibesarkan dalam pers populer lebih dari oleh orang-teori berbasis tim berkembang, masalah organisasi benar-benar hampa dari manajer atau pemimpin formal layak perhatian. Sepertinya ada besar terputus antara gagasan tim dan tidak adanya kepemimpinan. Tentu saja, sebagai organisasi menjadi datar dan tim karyawan diberdayakan dengan tanggung jawab pengambilan keputusan lebih, kebutuhan pengawas tradisional adalah cepat menurun (Fisher, 1993). Karena banyak dari tanggung jawab biasanya dipegang oleh supervisor dan manajer secara bertahap diserahkan ke anggota tim (misalnya, penjadwalan kerja, membuat tugas, dan mengevaluasi kinerja terhadap tujuan atau standar), orang-orang yang memegang posisi ini mempertanyakan peran mereka dan tujuan di organisasi. Namun, ini tidak berarti bahwa orang yang adalah pemimpin dalam organisasi hirarkis tradisional tidak lagi diperlukan.
Kunci dalam transformasi organisasi untuk tim terletak pada evolusi peran kepemimpinan. Lebih terintegrasi dengan tim sendiri, pemimpin yang sukses mengambil tanggung jawab baru dan berbeda, seperti fasilitasi, pembinaan, dan mengelola hubungan luar kelompok (Fisher, 1993). Tidak peduli bagaimana lanjutan tim ini, masih ada kebutuhan kepemimpinan untuk memungkinkan tim untuk secara optimal berhasil (Wilson, dkk, 1994.). Bahkan, "tim mungkin perlu lebih banyak pembinaan, bimbingan, dan perhatian pada tahap awal mereka daripada kontributor individu yang sama akan butuhkan dalam struktur tradisional" (Wilson, et al., 1994, hal 6). Pemimpin berada dalam posisi terbaik untuk menyediakan dukungan dan arah. Metode yang digunakan dalam melakukannya, bagaimanapun, adalah berbeda secara drastis. Melalui kolaborasi, keterbukaan, dan penciptaan makna bersama, para pemimpin dapat menimbulkan komitmen dari orang lain dan memandu proses kerja, yang memungkinkan anggota untuk mengembangkan keterampilan dan kontribusi terhadap organisasi yang lebih luas (Hackman, 1987). Mungkin, kemudian, melihat kepemimpinan sebagai suatu proses memberikan kerangka di mana evolusi ini tanggung jawab kepemimpinan dapat diperiksa lebih lanjut.

Integrasi tim dan kepemimpinan

"Tim" dan "kepemimpinan" mungkin bisa dibilang dua istilah yang paling sering digunakan dalam literatur manajemen saat ini dan diskusi. Mereka juga mungkin dua kata yang paling disalahpahami, karena ada hampir sama banyak definisi dari setiap kata karena ada penulis yang menulis tentang mereka (Bass, 1981; Lappas, 1996). Menggabungkan dua kata untuk menciptakan konsep kepemimpinan tim atau kepemimpinan tim tetap menjadi tantangan dan juga diperlukan, langkah berikutnya dalam pengembangan organisasi dan struktur mereka. Menurut Millikin (, 1994 p. 3), "sebagai organisasi lebih banyak melihat tim kerja swakelola sebagai cara melakukan bisnis, timbul pertanyaan tentang apa gaya kepemimpinan yang efektif dan mana lokus kekuasaan dalam organisasi modern." Ini pergeseran lokus kekuasaan menunjukkan kepemimpinan yang dapat mengambil penampilan yang sangat berbeda dalam organisasi modern daripada yang di hari terakhir dari manajemen ilmiah, produksi massal, dan perintah dan gaya kontrol.
Dengan munculnya tim, tim terutama self-directed, pertanyaan kepemimpinan muncul dalam konteks yang berbeda dari yang secara tradisional telah dipertimbangkan. Self-directed tim dapat didefinisikan sebagai "sekelompok karyawan yang memiliki tanggung jawab sehari-hari untuk mengelola diri sendiri dan pekerjaan yang mereka lakukan dengan minimal pengawasan langsung" (Fisher, 1993, hal 15). Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan tim dalam lingkungan yang sangat berdaya, dan ini dapat dianggap sebagai bentuk tim cukup maju. Gagasan kepemimpinan sebagai seseorang mungkin tidak lagi sesuai karena sifat, sangat kolaboratif melibatkan tenaga kerja. Dalam lingkungan saat ini, melihat kepemimpinan sebagai suatu proses dapat menawarkan forhip lebih cocok dalam organisasi, mengikuti filsafat Drath dan Palus (1994). Hal ini disebabkan sebagian menggeser organisasi mengambil di mana anggota tim mempunyai tanggung jawab yang signifikan atas pekerjaan mereka. Ketika melihat tim mandiri, anggota tim secara definisi terlibat dalam kepemimpinan pekerjaan mereka. Akibatnya, melihat kepemimpinan sebagai terkandung dalam individu di luar tim secara signifikan batas pemahaman kita tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam proses kerja.
Selain sifat kepemimpinan, deskripsi pemimpin formal telah menjadi jauh lebih heterogen dari waktu ke waktu, menambah kompleksitas lingkungan kepemimpinan saat ini. Seorang pemimpin formal tidak mengambil bentuk yang sama atau bentuk dalam organisasi yang berbeda, departemen yang berbeda, atau bahkan di tim yang sama dari waktu ke waktu. Meskipun hirarki organisasi sering menunjukkan jalur formal kewenangan dan akuntabilitas dari satu orang ke orang lain, dan pemimpin formal atau manajer ditujukan untuk tim manapun, peran orang yang di dalam fungsi tim sangat bervariasi (Ayres, 1992). Semakin banyak kita melihat bahwa ini pemimpin formal hanya teliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari tim. Lebih sering, kepemimpinan sejati tim, dalam hal aktivitas sehari-hari, berasal dari sumber lain. Dalam beberapa situasi, kepemimpinan dapat diputar di antara beberapa atau semua anggota tim dari waktu ke waktu. Dalam situasi lain, setiap orang dapat memegang tanggung jawab kepemimpinan untuk aspek tertentu dari pekerjaan. Dalam namun situasi lain, para pemimpin informal mungkin hanya muncul dari dalam batas-batas dari tim (Wilson, dkk, 1994.).
Akibatnya, dalam lingkungan tim, peneliti memiliki waktu yang sulit mengidentifikasi seorang pemimpin dalam tim. Perilaku yang mewakili kepemimpinan, misalnya pengaturan arah atau mengelola konflik, bisa, dan sering kali, dipamerkan oleh siapapun dan semua orang dalam kelompok. Oleh karena itu, fokus penelitian kepemimpinan tidak bisa menjadi orang tertentu, bahkan jika orang yang ditunjuk sebagai pemimpin tim, jika pemahaman yang komprehensif dari proses kepemimpinan yang diharapkan. Sebagai individu menerima tanggung jawab lebih untuk pekerjaan mereka, mereka juga mengambil peran lebih kuat dalam memimpin tim mereka. Untuk memahami kepemimpinan dalam tim, kemudian, seluruh tim harus dipelajari. Perilaku kepemimpinan ini dapat berasal dari satu orang atau beberapa orang dalam tim atau eksternal untuk itu. Menurut Hackman (1987), sebagai anggota tim praktek manajemen diri, mereka mengambil tanggung jawab pribadi untuk hasil, merasa secara pribadi bertanggung jawab, memantau dan mengelola kinerja mereka sendiri, dan membantu orang lain meningkatkan kinerja mereka. Mengingat bahwa tim bekerja diberdayakan latihan peningkatan kadar diri-manajemen, asumsi dapat ditarik bahwa perilaku dan kegiatan dapat diamati dalam anggota tim. Sebagai diri mengelola kegiatan berkontribusi untuk pengaturan dan mengejar arah tim, semua anggota tim memiliki potensi untuk menambah kepemimpinan tim. Hal ini penting untuk memahami kepemimpinan apa sebagai suatu proses terdiri dari dan konsekuensi ini untuk kinerja keseluruhan tim.
Garis antara pemimpin dan pengikut dalam lingkungan ini menjadi kurang jelas dan lebih fleksibel. Penelitian sebelumnya tentang kepemimpinan yang telah melihat hubungan antara pemimpin dan pengikutnya nya, maka, tidak cukup atau benar-benar sesuai dengan struktur organisasi saat ini. Kepemimpinan tidak dapat dianggap dalam paket rapi pemimpin dan pengikut lagi jika orang ingin benar-benar memahami apa yang terjadi di dalam tim mereka dan organisasi. Ada kebutuhan untuk penelitian yang dibangun berdasarkan sejarah dan pekerjaan sebelumnya yang dilakukan tentang kepemimpinan tetapi juga menyesuaikan tubuh ini pengetahuan agar sesuai dengan hari ini, AOS lingkungan. Akibatnya, pergeseran diperlukan dalam kepemimpinan tim cara dipelajari, serta perilaku yang diperlukan untuk efektivitas.
Sebagai transisi organisasi dari struktur, hirarki yang lebih tradisional ke struktur yang lebih berbasis tim, peran dan fungsi kepemimpinan adalah pemikiran untuk mengubah, serta (Nygren dan Levine, 1995). Hal ini dipamerkan dalam tinjauan sebelumnya lebih teori kepemimpinan baru, seperti Manz dan Sims (1989), serta konseptualisasi kepemimpinan sebagai suatu proses. Para, Äúcommand dan kontrol, model Äù kepemimpinan tidak cocok organisasi-organisasi ini kembali direkayasa dan diberdayakan (terutama bagi orang-orang yang bertanggung jawab bagi karyawan garis depan), dan pemimpin yang berhasil di masa lalu belum tentu akan berhasil dalam masa depan. Sebagai Fisher (1993) menjelaskan, individu yang bertanggung jawab untuk mengelola karyawan yang diatur dalam tim swakelola memerlukan keterampilan kepemimpinan yang berbeda dari yang digunakan oleh manajer tradisional. Tidak hanya merupakan transisi dalam keterampilan yang dibutuhkan, tetapi definisi seorang pemimpin yang sukses dalam suatu lingkungan tim hampir tidak ada. Perubahan yang signifikan dalam perilaku yang diperlukan, tapi apa perilaku-perilaku baru harus sangat jelas. Hal ini tidak adanya kejelasan adalah karena kurangnya studi empiris hingga saat ini mempertanyakan perilaku yang terlibat dalam proses yang mengarah pada kesuksesan (Nygren dan Levine, 1995).
Dalam memahami apa yang penting bagi kepemimpinan tim sukses, suatu pertimbangan motivasi karyawan dalam konteks hari ini, organisasi AOS mungkin dapat membantu. Seperti disebutkan sebelumnya, teori motivasi telah terkait erat dengan teori kepemimpinan. Konsep motivasi memainkan peran penting dalam organisasi berbasis tim serta kepemimpinan tim, meskipun dapat didefinisikan agak berbeda. Menurut Senge, Ross, Smith, Roberts, dan Kleiner (1994), kesadaran diri dan motivasi menuju tujuan bersama adalah dua faktor penting bagi organisasi belajar ada, yang mereka definisikan sebagai jenis yang paling produktif organisasi. Belajar organisasi mungkin tidak saat ini ada seperti yang dijelaskan oleh Senge, et al, tapi. organisasi terbaik adalah mengejar organisasi belajar sebagai tujuan, terus-menerus bekerja terhadap keadaan pembangunan dan pertumbuhan. Setiap karyawan, bukan hanya pemimpin formal, perlu menyadari nilai-nilai mereka, motif, dan tujuan. Mereka juga harus berkomitmen untuk tujuan bersama dan merasa memiliki tujuan yang termotivasi untuk memproduksi dan memindahkan organisasi ke depan. Komitmen dan motivasi akan memungkinkan spektrum yang lebih luas dari individu-individu untuk berpartisipasi dalam memimpin organisasi ke masa depan.
Karena setiap karyawan harus termotivasi dan berkomitmen untuk mencapai tujuan organisasi, tidak hanya para pemimpin, kepemimpinan mengambil bentuk yang berbeda. Tidak lagi pemimpin formal ada untuk memonitor perilaku karyawan dan masalah-masalah yang benar. Setiap karyawan bertanggung jawab atas kerjanya dan bertanggung jawab atas hasil dari tim, menentukan apa yang paling penting dan bagaimana pekerjaan harus diselesaikan. Semua orang, oleh karena itu, dibebankan dengan menunjukkan beberapa kualitas kepemimpinan. Garis depan, Äúdo-ers, Äù tidak diberikan secara eksplisit, instruksi langkah-demi-langkah, melainkan, mereka memutuskan pada spesifikasi pekerjaan mereka sendiri. pemberdayaan tersebut merupakan tahap awal pengembangan proses kepemimpinan di mana setiap orang dapat terlibat.
Salah satu aspek menarik dari kepemimpinan tim, dibandingkan dengan kepemimpinan karyawan individu, ini adalah keberhasilan yang tampaknya tidak tergantung hanya pada penerapan perilaku yang benar diberi situasi yang tepat, karena teori kontingensi menyarankan. Seperti dijelaskan di atas, sifat pekerjaan berubah, membutuhkan inovasi jauh lebih, kreativitas, dan berpikir individu dan inisiatif. Hal yang sama berlaku untuk pekerjaan pemimpin. Resep, kebijakan, dan prosedur tidak lagi ada untuk membantu para pemimpin memutuskan apa yang harus dilakukan dalam situasi apa, jika mereka memang ada dalam kenyataan. Hal ini kurang mungkin saat ini daripada di masa lalu bahwa para pemimpin akan menghadapi situasi yang sama cukup sering bahwa resep akan nilai. Mengingat meningkatnya kompleksitas bekerja pada begitu banyak level (seperti teknologi, interpersonal, dan lingkungan), karyawan diharuskan untuk menerapkan pertimbangan mereka untuk mengevaluasi situasi dan membuat keputusan bukan mengandalkan pada struktur dibentuk atau rutin.
Pemimpin yang diperlukan untuk berpikir dan bertindak berbeda, menggunakan inovasi dan nilai-nilai pribadi untuk membantu memandu tindakan mereka, bukan solusi buku berikut. Sepenuhnya memahami peran pemimpin membutuhkan melihat apa yang terjadi dalam individu-individu, bukan hanya mengamati perilaku mereka (Nygren dan Levine, 1995). Disarankan para pemimpin bahwa besok mungkin perlu diadakan visi, nilai-nilai, asumsi, dan paradigma yang dalam perjanjian dengan memiliki tenaga kerja, berorientasi tim diberdayakan untuk menjadi yang paling sukses. Tanpa visi dan nilai-nilai yang mendukung struktur organisasi masa depan, orang mungkin tidak siap untuk membuat keputusan yang sesuai dengan struktur yang. Tidak adanya kebijakan yang jelas dan resep untuk perilaku memerlukan penggunaan penilaian pribadi, dan orang-orang dasar penilaian mereka pada paradigma mereka. Untuk keputusan yang harus selaras dengan organisasi, setiap paradigma anggota dan asumsi juga harus selaras dengan orang-orang organisasi. Hanya ketika ini akan ada tindakan pemimpin konsisten dengan cara yang mendukung lingkungan tim.
Sebagian karena sifat intrinsik dan kualitas kepemimpinan tim sukses, penelitian kecil telah dilakukan karakterisasi proses ini. Tidak adanya definisi yang jelas juga mungkin karena kebaruan munculnya kepemimpinan tim. Tampaknya bahwa kepemimpinan tim berpotensi dapat mengambil banyak bentuk dan bentuk, menambahkan dimensi kompleksitas yang tidak mungkin telah ada di masa lalu. Tingkat kompleksitas dan ambiguitas membuka pintu untuk berbagai studi untuk bantuan lebih lanjut pemahaman yang saat ini ada. Dengan menggabungkan penelitian, tren masa lalu saat ini dan metode, dan pengalaman praktis dengan tim hari ini, ada harapan untuk membuat proses kepemimpinan tim yang konsisten, dimodifikasi, dan berharga dalam organisasi.
Manz dan Sims (1989) telah meneliti perubahan kepemimpinan sebagai akibat dari struktur tim. Mereka telah mendefinisikan gaya manajemen baru yang sangat penting bagi organisasi berbasis tim: SuperLeadership. Alih-alih satu pemimpin formal memegang kekuasaan, teori ini menunjukkan bahwa lokus kontrol bergeser dari waktu ke waktu dari pemimpin untuk tim. Mengambil gagasan ini selangkah lebih jauh, mereka percaya bahwa karyawan kepemimpinan diri merupakan aspek penting dari tim sukses. Self-kepemimpinan adalah digambarkan sebagai satu set strategi untuk memimpin diri sendiri terhadap kinerja yang lebih tinggi dan efektivitas, mengambil pada peningkatan jumlah tanggung jawab internal.
Hubungan antara self-leadership dan produktivitas telah dipelajari untuk menguji ide-ide ini. Pada tahun 1994, Millikin hipotesis bahwa tim dengan anggota yang mengalami tingkat tinggi diri kepemimpinan (dengan kata lain, orang yang mengambil tanggung jawab lebih dan menunjukkan inisiatif kepemimpinan) akan lebih produktif daripada tim kurang menunjukkan diri-kepemimpinan. Dia menemukan hubungan yang positif, menunjukkan bahwa tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi tim diri (diukur sebagai total gabungan tindakan individu diri kepemimpinan) yang berkaitan dengan peningkatan tingkat produktivitas di lingkungan manufaktur. Temuan ini memberikan dukungan kepada teori diri-kepemimpinan sebagai cara yang lebih efektif untuk beroperasi dalam sebuah organisasi berbasis tim.
Karena teori kepemimpinan tradisional telah terbukti kurang dari cukup dalam memahami organisasi berbasis tim, pendekatan revisi ini dipanggil. Bangunan pada tahun 1994 Millikin temuan, self-kepemimpinan adalah suatu komponen penting, serta pemahaman tentang perubahan lingkungan di mana organisasi beroperasi. Gagasan kepemimpinan sebagai suatu proses, oleh karena itu, muncul untuk menyediakan sebuah teori yang menghubungkan tim dan kepemimpinan dengan mengintegrasikan upaya dari anggota tim dengan upaya pengelolaan dan responsif memungkinkan untuk berubah. Konsisten dengan ide-ide SuperLeadership, anggota tim individual mengambil lebih banyak tanggung jawab, kekuasaan lebih besar, dan kualitas kepemimpinan yang lebih. Proses kepemimpinan tim tempat kepemilikan lebih dan tanggung jawab pada semua anggota tim dengan definisi. Menurut Drath dan Palus (1994), kepemimpinan melibatkan seluruh kelompok orang yang bekerja bersama, yang dapat disebut tim. Seperti berbagi makna kemudian menuntun perilaku kelompok dan membantu mereka bekerja menuju tujuan bersama. Aplikasi ide ini untuk latihan yang jelas (Drath dan Palus, 1994, hal6): Alih-alih memfokuskan pengembangan kepemimpinan hampir secara eksklusif pada individu pelatihan untuk menjadi pemimpin, kita mungkin, menggunakan pandangan ini, belajar untuk mengembangkan kepemimpinan dengan meningkatkan kemampuan setiap orang untuk berpartisipasi dalam proses kepemimpinan. Ini akan memerlukan penelitian untuk membantu kita memahami apa peran, perilaku, dan kapasitas terlibat dalam kepemimpinan sebagai arti sosial-proses pembuatan.
Satu pendekatan yang mungkin untuk pertanyaan tim tentang perilaku kepemimpinan dan yang di pameran perilaku tim tersebut. Dengan cara ini, kepemimpinan tidak dianggap berada di masing-masing satu anggota tim, atau seseorang di luar tim. Karena teori kepemimpinan yang paling, penelitian sampai saat ini telah membuat asumsi ini. Pada saat yang sama, tidak dianggap berada di setiap anggota tim. Sebaliknya, kepemimpinan dapat dianggap sebagai komponen budaya organisasi. Mengingat teori bahwa kepemimpinan adalah suatu proses, adalah penting untuk menanyakan apa yang tampak seperti proses, sehingga dapat disempurnakan dan direplikasi.
Tim kepemimpinan behaviours.The konsep umum tim kepemimpinan bukanlah hal yang baru, dan beberapa penulis telah menulis tentang perilaku yang potensial yang penting bagi kepemimpinan yang efektif dalam organisasi berbasis tim. Sebuah penelitian ini memberikan dasar untuk mengembangkan dan melakukan penelitian empiris pada konsep. Sebagai contoh, Kozlowski, Gully, Salas, dan Cannon-Bowers (1995) menunjukkan berbagai perilaku yang diperlukan untuk memimpin tim. daftar mereka termasuk mengembangkan pengetahuan bersama di antara anggota tim, bertindak sebagai mentor, memberi tahu orang lain, memfasilitasi proses kelompok, memberikan informasi, pemantauan kinerja, meningkatkan komunikasi yang terbuka, memberikan tujuan, dan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Embun (1995) mengidentifikasi beberapa kemampuan yang dibutuhkan untuk kepemimpinan demokratis: kemampuan untuk memimpin pertemuan partisipatif, mendengarkan keterampilan, kemampuan untuk menangani konflik, keterampilan pengukuran, keterampilan tim kelompok-berpusat pengambilan keputusan keterampilan, kemampuan mengajar, dan bangunan. Temme (1995) memperkuat aspek pembinaan dengan menyatakan bahwa para pemimpin tim perlu menciptakan iklim harapan tinggi melalui pembinaan dan lain-lain berkembang.
Penulis lain menekankan manajemen batas dan aspek struktural kepemimpinan. Frohman (1995) menggambarkan pentingnya jembatan antara manajemen puncak dan tim, menunjukkan bahwa para pemimpin perlu untuk mengkoordinasikan pekerjaan, memperoleh sumber daya dukungan, dan bernegosiasi untuk waktu dan ketersediaan anggota. Berkenaan dengan pengelolaan ke atas dalam organisasi, Brown (1995) membahas pentingnya kebutuhan bagi para pemimpin untuk menantang ide-ide orang lain dan keputusan, menciptakan suatu lingkungan di mana orang tidak takut mengambil resiko. Kolb (1995) menambahkan bahwa para pemimpin harus menghindari mengorbankan tujuan tim dengan isu-isu politik, mereka harus berdiri di belakang tim dan mendukungnya, dan mereka harus berpengaruh dalam mendapatkan konstituen luar untuk mendukung upaya tim.
Wilson dan Wellins (1995) membahas baik keahlian taktis dan strategis yang diperlukan dalam organisasi saat ini berbasis tim. Dari sudut pandang taktis, mereka menentukan kemampuan komunikasi, kinerja manajemen, analisis dan penilaian, pelatihan, dan perbaikan terus-menerus memperjuangkan dan pemberdayaan. keterampilan Strategis penting untuk memimpin dalam lingkungan tinggi keterlibatan meliputi memimpin melalui visi dan nilai-nilai, membangun kepercayaan, memfasilitasi belajar, dan membangun kemitraan dengan bagian lain dari organisasi. Dalam sebuah studi tentang pentingnya berbagai kualitas kepemimpinan, Donnelly dan Kezsbom (1994) menemukan bahwa kompetensi manajerial (tidak secara khusus didefinisikan) telah ditemukan untuk menjadi yang paling penting, diikuti oleh kompetensi kolaboratif dan analitis, dan komunikasi dan kompetensi interpersonal yang ditemukan berikutnya paling penting.
Seperti yang dapat dilihat oleh review ini, berbagai perspektif telah diambil dalam mencoba untuk mendefinisikan dan mencirikan kepemimpinan tim. Kembali ke dua faktor teori, pembenaran tampaknya ada untuk memberikan perhatian terus baik perilaku tugas terkait dan orang-terkait, karena seseorang tidak telah terbukti menjadi penentu utama keberhasilan pemimpin. Pada saat yang sama, para penulis ini mengindikasikan penekanan kuat pada pengaruh dan dukungan, karena bertentangan dengan mengarahkan dan memerintahkan perilaku yang mungkin telah berhasil bagi para pemimpin di masa lalu. Dari pembinaan dan pelatihan untuk mengembangkan lingkungan belajar batas pengelolaan, teori-teori ini menambahkan dukungan untuk perubahan dalam apa yang terdiri dari kepemimpinan yang efektif di diberdayakan, organisasi berbasis tim.